Monday, March 12, 2012

It"s All About Me :)



Who Am I ?



Siapa yang kenal dengan diri kita kecuali diri kita sendiri. Sama seperti saya. Hanya saya sendiri yang mengenal baik pribadi saya. Tidak ada orang lain yang mengenal diri saya sebaik saya mengenal diri sendiri. Jika teman-teman ingin mengetahui siapa saya, lebih baik dan lebih pantas saya perkenalkan diri.  Nama saya Alberta Prisca . Sejak saya masih bayi sampai kelas 1 SMP nama panggilan saya Prisca namun setelah saya mengenyam bangku SMA nama panggilan saya berganti menjadi Pichul. Nama tersebut adalah hasil celetukan teman saya dan alhasil teman-teman saya yang lain mulai memanggil dengan sebutan yang sama. Sampai saya masuk ke perguruan tinggi nama panggilan akrab saya tetap Pichul. Kata mereka nama Prisca ribet untuk diucapkan lebih gampang memanggil dengan nama Pichul.
 Umur saya masih 20 tahun untuk bulan ini karena bulan depan sudah bertambah satu tahun. Saya anak bungsu dari 3 bersaudara dan semuanya perempuan. Ayah saya seorang pensiunan pegawai negeri dan ibu saya seorang ibu rumah tangga yang hebat. Golongan darah sekeluarga O, warna kesukaan merah, coklat, dan hitam. Hobi menonton film barat dan korea, membaca novel, dan jalan-jalan. Saya penyuka binatang terutama anjing tetapi entah mengapa saya tidak terlalu suka anjing peliharaan di rumah saya sendiri. Saya penyuka klub liga Inggris Manchester United dan pemain sepak bola favorit bisa dibagi dua jenis. Dulu dan sekarang. Dulu saya suka dengan Cristiano Ronaldo tetapi berhubung pemain asal Portugal ini sudah hengkang dari MU saya menjadi tidak begitu suka lagi. Sedangkan pemain sepak bola favorit saya saat ini adalah Ryan Giggs. Sebenarnya saya masih ingin bercerita, tetapi berbicara tentang apa saja yang saya sukai mungkin akan butuh berlembar-lembar kertas jadi lebih baik saya cukupkan sekian.
Masa kecil kebanyakan saya lewati dengan bermain bersama anak laki-laki. Segala jenis permainan pernah saya coba, Mulai dari bermain kelereng, layang-layang, tamiya, gangsing, robot-robotan, dan segala macam permainan anak laki-laki pernah saya coba. Sifat saya dulu masih tomboy. Lalu dengan bertambahnya usia, ketomboy-an saya lama-lama berkurang dan saya berubah menjadi lebih dewasa. Bergaul dengan teman-teman perempuan, mulai dari bermain, pergi ke mall, kemana saja lebih banyak saya luangkan dengan teman perempuan.
Berhubung membicarakan asal muasal saya terlampau panjang ceritanya lebih baik langsung saja kita beralih pada topik pokok, yaitu kepribadian. Mungkin bisa dibilang tulisan ini sedikit narsis tetapi karena sekarang waktunya membicarakan pribadi diri sendiri harap dimaklumi. Setelah mengikuti kuliah psikologi komunikasi saya baru tahu ternyata kepribadian dibagi bermacam-macam tipe. Seperti sanguni, plegmatik, melankolik, dan kolerik. Ada juga tipe introvert dan extrovert. Dari kesemua jenis kepribadian tersebut maka saya menilai diri saya masuk ke dalam kategori plegmatik. Plegmatik karena saya orang yang sangat tenang. Saya pandai mengontrol emosi jika ada masalah. Tetapi saat masalah datang, saya memilih untuk merenungkan dan memetakan masalah itu berulang-ulang. Saat saya siap menceritakan atau curhat dengan teman baru saya akan mulai bercerita. Disisi lain saya tipikal orang yang pendiam dan tertutup. Setiap ada masalah yang menerpa, saya terlalu percaya pada diri sendiri bahwa saya bisa menyelesaikannya. Memang kadang saya bisa memecahkan masalah sendiri, namun terkadang saya butuh bantuan orang lain. Saya bisa bercerita masalah yang sedang dihadapi hanya kepada teman-teman terdekat dan teman yang saya percaya. Tetapi buruknya adalah sampai perlu dipaksa oleh orang lain baru saya mau menceritakan masalah tersebut.
Banyak juga teman saya yang bilang kalau saya adalah orang yang jutek atau mungkin lebih pasnya judes. Sebenarnya saya masih bingung dengan pendapat tersebut. Saya merasa biasa saja. Definisi jutek menurut saya seperti orang yang tidak welcome. Sedangkan judes menurut saya lebih ke arah orang yang pemarah, berkaitan dengan emosional. Saya menerima dengan terbuka bagi teman yang ingin berteman dengan saya dan saya jarang marah-marah. Mungkin orang mengira saya adalah orang yang jutek dan judes hanya berdasarkan penglihatan secara visual dengan melihat wajah saya yang terlihat jutek maupun judes.
Saya sangat menghargai pertemanan dan persahabatan. Maksudnya disaat saya berteman dengan seseorang saya akan menghargainya dan menjaga perasaanya. Saya adalah seorang pendengar yang baik, walaupun kadang kala saya juga tidak bisa membantu memberikan solusi terbaik. Saya bisa menjaga rahasia secara rapat-rapat atau bisa dibilang saya penjaga rahasia yang baik. Banyak kawan saya yang percaya kepada saya untuk menceritakan rahasia yang mereka miliki. Saya setia kawan dan senang menghabiskan waktu dengan teman-teman saya. memperhatikan orang-orang disekitar saya. Saya suka hidup ditengah-tengah orang lain dan suka bekerja sama dengan orang lain.
Berbagai pengalaman hidup yang saya miliki sangat mendewasakan saya. Saya mulai menerapkan rasa positif thinking dalam kehidupan saya. Hasilnya sangat luar biasa. Berpikir positif ternyata tidak sesulit yang dipikirkan. Pertama saya bermain positif melalui pikiran saya. Saat saya bisa berpikir secara positif maka hal-hal disekitar saya akan menjadi positif. Mulai dari hal yang sepele. Misalnya saat bertemu dengan teman, dengan memberikan senyuman saja perasaan kita akan menjadi lebih ringan dan mungkin senang. Saat apa yang kita pikirkan dan lakukan secara positif maka akan menarik hal-hal yang positif dalam hidup kita. Sekali kita berpikir jelek tentang seseorang maka hal-hal negatif akan mendatangi kita. Hal itu yang saya terapkan.
Saya percaya untuk mendapatkan kebahagiaan hidup tidaklah sulit. Pertama adalah pintar memainkan pikiran diri sendiri. Dulu saya orang yang mudah berpikir yang bukan-bukan, curigaan dengan orang lain dan berpikiran yang negatif. Hidup dengan penuh hal yang negatif sangatlah menyiksa. Perasaan menjadi tidak tenang, mengerjakan sesuatu menjadi terburu-buru, menyalahkan diri sendiri adalah efek yang daya dapatkan saat saya selalu berpikiran positif. Namun lambat laun saya berpikir bagaimana caranya menghilangkan semua itu. Caranya hanya satu, yaitu berpikir sebaliknya, yaitu positif thinking. 

Jasmani dan rohani memang harus seimbang. Disamping kita disuguhkan dengan hal duniawi, kedekatan diri kita dengan Sang Pencipta juga bisa membuat hidup yang kita jalani lebih bermakna. Intinya adalah kepercayaan. Saat kita percaya dengan kuasa Tuhan, mengandalkanNya dalam perbuatan kita sehari-hari maka saya yakin kita bisa menjalani hidup dan melewati masalah dengan mudah. Saya sudah menerapkannya. Saya bergantung dengan Tuhan. Misalnya saat saya ada masalah dalam hal finansial, ada saja yang memberi saya bantuan. Saat saya membutuhkan apapun itu, ada saja yang mau membantu saya. Pikiran positif yang saya terapkan dan tetap mendekatkan diri dengan Yang Kuasa hasilnya adalah kebahagiaan hidup.
          Hidup saya berubah sejak mulai menerapkan cara berpikir seperti itu. Terutama sifat, perilaku, dan kepribadian saya berubah menjadi lebih baik. Saya bisa mendapatkan apa yang saya mau. Saya membuat sebuah daftar yang berisi sesuatu baik berbentuk barang atau apa saja yang saya inginkan, barang tersebut satu persatu bisa saya miliki. Karena saya memiliki keyakinan bahwa saya bisa memilikinya. Tanpa usaha susah payah, semuanya bermula dari memainkan pikiran kita.  
            Kembali lagi bahwa yang tahu diri kita hanyalah kita sendiri. Manusia penuh dengan misteri karena manusia susah untuk ditebak, termasuk saya. Cara berpikir kita juga berbeda satu sama lain. Untuk itulah manusia diciptakan dengan keunikannya sendiri dan berbeda satu sama lain dan perbedaan itu indah. Tergantung bagaimana cara kita mengolah dan berproses dalam hidup. J

Sunday, March 11, 2012

Media dalam Realita

Kasus Icha (Rahmat Sulistyo) Dalam Kacamata Media

Lagi-lagi media berkobar-kobar dalam memberitakan kasus pernikahan sesama jenis, yaitu Icha alias Rahmat Sulistyo dengan Muhammad Umar. Banyak sekali situs-situs berita yang menghadirkan judul berita dengan kata-kata yang cenderung “heboh”. Misalnya dalam situs www.ari.asia yang membuat judul berita “Umar & Rahmat Menikah, Bukti Kiamat Sudah Dekat”. Padahal jelas bahwa kasus yang dihadapi Rahmat ini adalah kasus penipuan. Secara jelas bahwa dalam dakwaannya, Rahmat dinilai melanggar pasal 266 ayat 1 tentang menyuruh membuat keterangan palsu dan pasal 263 ayat 1 tentang pemalsuan surat surat dan ayat 2 menggunakan surat nikah palsu. Rahmat terancam terkena hukuman maksimal tujuh tahun penjara. Rahmat juga diketahui memalsukan identitasnya menjadi Friska Anastasya Oktaviany pada fotokopi Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran. Pasalnya fotokopi tiga lembar dokumen itu merupakan sejumlah persyaratan untuk mendapat pengakuan resmi dari negara tentang sahnya suatu pernikahan. Buku Nikah tersebut dikeluarkan oleh KUA

Namun kita lihat realitanya bahwa kasus ini lebih cenderung disorot sebagai perilaku menyimpang. Bagaimana sesungguhnya sosok Ramat alias Icha dalam kesehariannya sampai Facebook miliknya yang memiliki beberapa foto dengan dandanan perempuan. Media malah tidak mengulik permasalahan sebenarnya tetapi lebih memilih membicarakan hal yang lebih merujuk pada semua kesalahan yang dilakukan oleh Icha. Kebanyakan hal yang disorot adalah permasalahan kodrat Rahmat menyimpang dari apa yang seharusnya. Padahal inti dari kasus ini adalah penipuan dan pemalsuan identitas yang dilakukan oleh Rahmat.

Disini saya tidak menemukan kenetralan media dalam memberitakan kasus Icha tersebut. Media malah menyorot pribadi Rahmat alias Icha yang diduga adalah “gay”. Media membentuk pemikiran masyarakat adalah laki-laki “gay” adalah orang yang perlu dihina-hina dan dijatuhkan martabatnya sebagai manusia. Padahal dibalik itu semua ada ALASAN mengapa Rahmat melakukan perbuatannya. Misalnya karena traumatic masa lalu, seperti yang dialami Rahmat setelah diputus oleh pacarnya sebelumnya.

Motif sesungguhnya mengapa Rahmat mengubah orientasi seksualnya hanya dia yang tahu sebenarnya. Media tidak bisa semena-mena memberikan judgement bahwa permasalahan orientasi yang dialami Rahmat adalah sesuatu yang terkesan “dilarang” untuk dilakukan. Bahkan banyak sekali kalangan yang menentang dan memberikan kecaman. Media telah membuat semua pihak menentang apa yang dilakukan oleh Rahmat tanpa melihat apa sesungguhnya yang melatarbelakanginya.

Kasih sayang adalah hak dasar yang harus dimiliki oleh semua manusia di dunia. Seperti halnya kasus diatas bahwa Rahmat bebas mendapatkan cinta dari siapa saja, termasuk Umar sendiri. Perkara hal tersebut ternyata adalah melanggar hukum, bagaimana jika media mampu mengabaikan masalah yang lebih personal dan lebih fokus kepada masalah hukum yang melibatkan Rahmat.

sumber referensi :
http://www.krjogja.com/news/detail/86775/Pernikahan.Sejenis..Rahmat.Diancam.7.Tahun.html

 

Saturday, March 10, 2012

Woman in Media Society


Teropong Perempuan Dalam Media


Seperti yang kita ketahui bahwa berbagai persoalan tentang wanita masih menjadi isu yang marak untuk diperbincangkan. Terutama ketika Indonesia sudah memasuki masa reformasi, dimana masyarakat diberikan kebebasan untuk mengekspresikan diri mereka, khususnya dalam bermedia. Media massa telah memasuki jaman atau era kebebasan penuh tanpa ada pembredelan, pembatasan tayangan, larangan tayangan, maupun visualisasi vulgar di majalah oleh pihak pemerintah.
Semua kalangan dapat berekspresi dengan bebas pada masa reformasi. Namun muncul isu-isu yang kurang mengenakkan untuk didengar. Isu tersebut adalah ketika perempuan turut ambil bagian dalam bermedia. Maksudnya disini, perempuan mulai menampilkan ke publik untuk berekspresi. Kemunculan perempuan di muka publik memiliki representasi yang kurang baik. perempuan Indonesia digambarkan sebagai orang yang bekerja di dapur, mengurus anak, sosok yang sensitive, dan sering menjadi korban lelaki.
Akhir-akhir ini, sajian dalam media massa di Indonesia, tanpa terkecuali media elektronik maupun media cetak, seakan-akan berlomba-lomba mendapatkan sosok perempuan yang memiliki fisik; cantik dan seksi. Hal itu demi sarana mempengaruhi dan melanggengkan pesan yang ingin disampaikan kepada khalayak, baik dalam bentuk realitas perfilman, periklanan, dan bentuk lainnya. Wajar jika sebagian orang menilai bahwa media massa mengeksploitas perempuan dari berbagai bentuk tubuh, karakter, maupun sifatnya. Misalnya, apa hubungan antara perempuan yang berpakaian minim dan mobil dalam iklan?
Dalam film atau berbagai macam sinetron misalnya, perempuan seringkali dikonstruksikan dengan citra yang negatif. Cover di sebuah majalah atau iklan hand phone di televisi dengan visualisasi (baca; penampakan) perempuan yang cantik dengan tubuh yang seksi. Pakaian-pakaian yang digunakan juga seksi, misalnya memakai rok ketat diatas lutut dan baju ketat. Seperti yang dijelaskan dalam jurnal, MemberI sebuah pandangan bahwa perempuan hanya sebagai eksploitasi terhadap sebuah materi untuk melariskan barangnya, demi profit industri bisnis bagi kaum kapitalis. Bisa jadi, perempuan sebagai ‘penyambung aspirasi’ nafsu biologis laki-laki.
Setelah rezim Soeharto khususnya, media massa cenderung tidak dikontrol oleh pemerintah. Namun media massa di Indonesia saat ini tengah berubah arah ke budaya bisnis.  Perubahan orientasi wanita di media membuat perempuan menjadi obyek untuk dijadikan lahan bisnis. Sehingga dengan mudah kita temukan dalam berbagai media massa, baik cetak, elektronik, dan online perempuan yang berpenampilan tidak semestinya. Ini dilakukan untuk menjaring pelanggan atau menarik konsumen untuk membeli produk yang dijual. Perempuan tak ubahnya sebagai image sesuatu yang dijual, padahal tidak melulu perempuan di Indonesia digambarkan dengan image yang negatif.
Kepentingan bisnis tersebut memungkinkan perempuan dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengejar keuntungan besar dalam meraih pangsa pasar, yang sarat dengan persaingan ketat, sebagaimana dalam permainan industri. Perempuan ditampilkan secara tidak bermoral, tidak memiliki nilai etika bersosial. Perempuan divisualisasikan ke dalam bentuk fisik yang sarat dengan tubuhnya; seksi dan berpakaian yang sangat minim.
Stuart Hall dalam buku Representation: Cultural Representation and Signifying Practice mengemukakan adanya dua sistem representasi. Pertama, mental representation, yaitu “meaning depens on the system of concept and images formedin our thoughts which can stand for or ‘represent’ the world, enabling us to refer to things both inside and outside our heads”. Kedua, makna yang bergantung pada konstruksi sebuah set korespondensi antara peta konseptual kita, dan sebuah set tanda, bahasa, yang merepresentasikan konsep-konsep tersebut. Junaidi dalam tulisan The Body Shop: Representation and Identities, mengatakan proses yang menghubungkan ‘things, concept dan sign’ tersebut diberi nama representation.[1]
Begitu pula representasi perempuan dalam media massa juga akan dipengaruhi bagaimana konstruksi sosial yang melingkupinya. Oleh karena sebagai politik kapitalis, industri media sangat dipengaruhi berbagai hal, baik yang ada dalam organisasi media maupun ekstra media, sebagaimana dikemukakan.[2] Ada lima tataran yang mempengaruhi isi media, yaitu tataran individual pekerja, tataran rutinitas media, tataran organisasai media, tataran ekstra media, dan faktor ideologi. Termasuk dalam tataran individual pekerja media adalah latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan wartawan. Rutinitas media menyangkut kepentingan  khalayak yang meliputi nilai berita, objektivitas, dan struktur cerita. Organisasai media menyangkut gatekeeper, perspektif pemberitaan, serta sumber eksternal seperti pidato interview, dan lain-lain.
Peran media massa sebagai penyalur informasi turut menyumbangkan proses pembentukan sikap dan perilaku yang menentukan status perempuan di dalam masyarakat. Debra A. Yatim2 dalam tulisan berjudul “Perempuan dan media Massa, Oleh Pria untuk Priakah?” berkata,
Di satu pihak, betul media jadi cermin bagi keadaan di sekelilingnya. Namun, di pihak lain, ia juga membentuk realitas sosial itu sendiri. Lewat sikapnya yang selektif dalam memilih hal-hal yang ingin diungkapkannya, dan juga lewat caranya menyajikan hal-hal tersebut, media memberi interpretasi, bahkan membentuk realitasnya sendiri”.

Media sendiri juga turut melanggengkan struktur. Bagi para mereka yang bekerja dalam produksi biasanya turut memperhitungkan rating dari judul sinetron yang ditayangkan. Rating tersebut menunjukkan kesukaan masyarakat terhadap sinetron yang disajikan. Selain itu juga untuk mengukur selera masyarakat terhadap sinetron. Walaupun banyak masyarakat yang tidak menyukai sinetron tersebut tetapi tidak tercantum dalam rating yang dibuat. Bahkan masyarakat yang tidak menyukai sinetron-sinetron yang berbau kekerasan memberitahukannya dalam rubrik surat pembaca di koran.
Semua ini berarti bahwa media sangat terikat dengan proses produksi dan jaringannya sangat kuat. Masyarakat hanya pihak yang tidak berdaya karena peran media dalam proses produksi dan jaringannya sangat kuat. Meskipun masyarakat sudah melakukan banyak perlawanan untuk mendapatkan tayangan yang bermutu dan berkualitas.
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tayangan televisi yang mendapatkan rating yang tinggi adalah tayangan yang berbumbu “kekerasan”. Jadi dalam hal ini, jalan cerita sinetron atau tayangan menjadi tidak penting. Malah ceritalah yang menjadi bumbu kekerasan.
Persoalan mengenai perempuan tidak jauh dari apa yang disebut dengan bias gender. Bias gender adalah prasangka yang dibuat tanpa pengetahuan yang memadai atau bukti-bukti yang kuat terhadap seseorang atau sekelompok masyarakat yang didasarkan pada peran dan posisi gender laki-laki dan perempuan.[3] Konstruksi sosial yang dilahirkan oleh masyarakat dan kebudayaan telah mengkristal menjadi ideologi yang serba bias gender. Disinilah perempuan menjadi pihak yang menduduki posisi subordinate. Maksudnya, kedudukan perempuan ada dibawah laki-laki. Saat ini secara bersamaan, bias gender dengan ideologi kapitalis serta budaya patriarkhi telah mewarnai media. Sadar atau tidak sadar media kemudian mensosialisasikannya kepada publik atau masyarakat.
Persoalan gender ini telah lama menjadi perhatian para peneliti feminis. Perkembangan feminism terhadap permasalahan gender mulai muncul sekitar tahun 40-an yang digagas oleh kaum feminis di Barat. Munculnya perhatian terhadap isu gender dan pemberdayaan perempuan diawali oleh adanya kesadaran bahwa ternyata nasib kaum perempuan di masyarakat tidak sebaik nasib lawan jenisnya. Oleh karena itu, gerakan untuk memperbaiki nasib perempuan mulai muncul yang dipelopori oleh tokoh feminis MaryWollstonecraft dan John StuartMill (Amal, 1992).
Dalam perkembangan berikutnya diikuti oleh tokoh-tokoh feminis lainnya yang mempunyai visi dan misi sejenis yakni mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dengan memperjuangkan nasib kaum perempuan yang dianggapnya berada dalam posisi teropresi, tersubordinasi, termarjinalisasi, dan terdiskriminasi. Gerakan feminis ini pada awalnya berkembang diNegara Barat seperti di Inggris, Perancis, Amerika dan lain-lain, dan dalam perkembangannya gerakan ini berkembang dalam tiga gelombang besaryakni feminisme gelombang pertama, kedua dan ketiga.
Pandangan masyarakat yang negatif terhadap perempuan di dalam masyarakat  tentu sangat merugikan perempuan untuk berkreasi, Tidaklah mudah mengubah pandangan tersebut. Tentunya diperlukan perjuangan yang ekstra keras karena hal ini berkaitan erat dengan perubahan nilai budaya atau konstruksi sosial budaya yang telah berurat akar di masyarakat. Namun demikian, karena semua nilai budaya yang ada di masyarakat adalah bentukan manusia, maka pada prinsipnya hal ini bisa diubah tetapi memerlukan proses yang panjang.

Referensi Jurnal
Eva Leiliyanti, “Konstruksi Identitas Perempuan dalam Majalah Cosmopolitan”, dalam Jurnal
Perempuan No 28 (2003)
Jurnal Perempuan, untuk pencerahan dan kesetaraan. Edisi no.48 tahun 2006
Jurnal Studi Gender dan Anak Yin Yang. Perempuan Dalam Media Massa oleh Nurul Islam
Jurnal Etnovisi, Jurnal Antropologi Sosial Budaya Vol. 01. No. 2 Oktober 2005 ISSN: 0216-843x
Ni Luh Arjani Jurnal Ekonomi Sosial Input. Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan Tantangan Global.



[1] Eva Leiliyanti, “Konstruksi Identitas Perempuan dalam Majalah Cosmopolitan”, dalam Jurnal Perempuan No 28 (2003
[2] Shoemaker, J. Pamela dan Stephen D. Reese, Mediating The Messages, Theories of Influences on Media Content (USA: Longman Publishers, 2001).
[3] Sheryl Cooke- Sawyer, Gender Bias and Sex Role Stereotyping in Grade Seven History Textbooks, London, The University of Western Ontario, 1998, hal 1-2. Gender sendiri adalah perbedaan tingkah laku antar jenis kelamin yang merupakan hasil bentukan masyarakat. Bukan sesuatu yang biologis atau kodrat Tuhan, tetapi dibentuk oleh masyarakat melalui sebuah proses sosial dan budaya yang panjang.

It's Called Media Interaktif


Budaya Tablet
Pasar Mempertimbangkan Gengsi, Style Mengalahkan Fungsi

            Teknologi, satu kata yang dapat menggambarkan keadaan masyarakat dunia yang tidak bisa jauh darinya. Perkembangan teknologi saat ini sangat pesat. Hampir semua kalangan mulai dari anak kecil,remaja, dewasa, sampai orangtua membutuhkan apa yang dinamakan teknologi. Kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat membuat bola dunia terasa makin kecil dan ruang seakan menjadi tak berjarak. Kemajuan teknologi saat ini telah megubah pandangan masyarakat. Dunia pun dipandang sempit oleh masyarakat.
          Selain itu sifat manusia yang selalu tidak puas akan selalu mencari sesuatu pergerakan yang inginnya efektif dan efisien. Yasraf Amir Pilliang yang menulis buku berjudul Sebuah Dunia yang Dilipat (Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme) mengistilahkan dunia seperti itu sebagai dunia yang telah dilipat. Hal ini disebabkan oleh kenyataan betapa kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat aktivitas hidup manusia semakin efektif dan efisien.
Maka tidak salah ketika muncul teori Uses and Gratification yang diteliti oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch. Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya. Selain itu orang secara aktif mencari media tertentu untuk mendapatkan kepuasan. Teori ini berpusat pada khalayak media menekankan pada seorang konsumen media yang aktif. Inisiatif dalam menghubungkan kepuasan kebutuhan pada pilihan media tertentu terdapat pada anggota khalayak. Teori ini menghubungkan antara kepuasan dan kebutuhan pada pilihan terhadap sebuah media berada pada tangan khalayak. Karena orang adalah agen yang aktif, mereka mengambil inisiatif. Pada akhirnya khalayak adalah agen yang menentukan tujuan mereka menggunakan media tersebut. Media berkompetisi dengan sumber lainnya untuk kepuasan kebutuhan. Ini berarti bahwa media dan khalayak berhubungan dipengaruhi oleh masyarakat.
Perilaku ini biasanya dipengaruhi oleh  predisposisi sosial dan psikologinya. Tentang hal ini Katz dan Blumer mengatakan sebagai berikut :
The social and psychological origins of, Needs which  generate,Expectation, The mass media or other sources which lead to,Diffferential pattern of media exposure (or engagement in other activities)resulting in,Need perhaps mostly unitended ones.

(Pendekatan Uses and Gratification berhubungan dengan kebutuhan sosial dan psikologis yang membentuk harapan pada media massa atau sumber lain yang mengakibatkan pola terpaan  media yang berlainan yang menghasilkan kepuasan dan  konsekuensi – konsekuensi lain yang tidak diinginkan) (Katz,  Blumer, Gurevitch, 1994).
            Setiap tahunnya ada saja gadget baru yang diproduksi oleh perusahaan komunikasi terkenal di dunia. Salah satunya adalah tablet. Tidak dipungkiri, tablet adalah gadget yang paling diminati saat ini sejak kemunculan Apple iPad. Gadget tipis ini sekarang menghiasi tempat-tempat nongkrong nan gaul di sudut-sudut kota metropolitan. Melihat animo yang sedemikian besar, tentu vendor-vendor lain tak ingin membiarkan kue manis itu dinikmati sendirian oleh Apple. Maka muncullah Samsung Galaxy Tab, Acer Iconia, BlackBerry Playbook, dan sederet merk-merk lain mulai dari yang paling mahal sampai yang model-model Cina.
            Mungkin kita sedikit penasaran mengenai sejarah adanya komputer tablet. Berbicara mengenai tablet, maka merk yang identik dengan tablet adalah Ipad dari Apple. Sedikit sejarah bahwa ternyata komputer tablet pertama Apple adalah MessagePad Newton 100, diperkenalkan pada tahun 1993, yang menyebabkan penciptaan inti prosesor ARM6 dengan Komputer Acorn. Apple juga mengembangkan prototipe PowerBook Duo tablet berbasis, PenLite, tetapi memutuskan untuk tidak menjualnya dalam rangka untuk menghindari menyakiti penjualan MessagePad.[1]
            Namun saat ini muncul berbagai macam merk tablet yang menyaingi Apple. Sebut saja Samsung Galaxy Tab, Blackberry Playbook, Cisco Cius, Dell Streak, HP Slate 500, Toshiba Folio 100, HP PalmPad, LG Optimus, Acer Tablet, Microsoft Windows 7 Tablet, OpenTablet 7, dan Google/Verizon Tablet. Berlomba-lomba perusahaan telekomunikasi membuat gadget terbaru untuk menyaingi Apple dan membuat produk yang lebih canggih dengan membuat spesifikasi yang lebih rumit dan tidak dimiliki oleh Apple. Dengan iPad siapapun bisa dengan leluasa membaca e-Book kapanpun dan dimanapun. Selain itu iPad juga bisa berfungsi layaknya sebuah PC, didalam iPad tersedia berbagai fasilitas hiburan mulai dari mendengarkan musik, menonton film, mangakses situs jejaring sosial facebook, twitter dan kegiatan surfing dunia maya lainnya.
            Kemunculan tablet memang belum lama, namun efek yang diakibatkan munculnya gadget ini cukup besar. Awalnya heboh dengan adanya smartphone seperti Blackberry yang saat ini sudah menjadi trend. Dengan kemunculan tablet maka sedikit demi sedikit masyarakat mulai banyak yang melirik tablet sebagai gadget pilihan mereka. Terutama bagi mereka yang selalu membutukan gadget untuk mobile seperti orang-orang pekerja profesional. Tidak sedikit anak-anak muda juga banyak yang melirik gadget tablet ini.
            Survey dari Citigroup menyatakan kalau kebanyakan orang yang membeli tablet beralasan mereka melihatnya sebagai mainan baru, bukan membeli karena alasan kegunaan / kebutuhan pemakaian. Juli lalu mereka membuat polling dari 1800 orang di AS, Inggris dan China, dan menemukan kalau 62 persen dari mereka yang berencana membeli tablet dalam 12 bulan kedepan menginginkan sebuah ''mainan baru/gadget.'' Alasan lainnya, seperti hadiah, untuk kebutuhan kerja, atau menggantikan kegunaan komputer, cukup kecil jika dibandingkan.[2]
            Menjelajahi web, messaging, jejaring sosial, menikmati multimedia, dan membaca e-book adalah kegunaan utama untuk tablet. 67 persen melakukan web browsing, dan 55 persen menggunakannya untuk email atau chatting. Untuk pengguna iPad, Citigroup melaporkan kalau pemilik iPad cenderung mengunduh dan membeli aplikasi lebih banyak daripada pengguna tablet pesaing.[3]
            Di Indonesia, tablet memang sudah banyak dikenal oleh masyarakat, namun disisi pengguna tablet, di Indonesia masih tergolong rendah. Dari segi harga, tablet tergolong masih mahal di kantong masyarakat Indonesia, jadi yang memiliki tablet hanya orang-orang tertentu saja. Namun kita dapat melihat bahwa fungsi penggunaan tablet perlu dipertanyakan, khususnya untuk anak-anak muda. Kebiasaan anak muda jaman sekarang adalah barang-barang yang dibeli biasa tidak benar-benar dibutuhkan. Tujuan dibelinya barang tersebut juga hanya untuk gaya-gayaan dan mengangkat derajat dan gengsi si pemiliknya. Gaya belanja seperti ini bisa disebut juga sebagai konsumsi gengsi.
            Teknologi atau fitur pada iPad diyakini juga akan membuat orang menjadi lebih pintar namun orang bisa juga menyalahgunakan teknologi ini, dalam pidatonya di Hampton University, Obama mengatakan sekarang sudah banyak perangkat elektronik, seperti iPod, iPad, Xbox, dan PlayStations yang membuat informasi menjadi lebih cepat, tapi juga bisa menimbulkan kesalahpahaman atau hanya sekadar alat untuk mendapatkan hiburan.[4]
Dengan menenteng tablet, lalu menggunakannya di tempat umum, sudah pasti dapat menaikan gengsi tapi setidaknya orang tersebut bisa menjadi sorotan dan bahan perhatian di sekitar. Lalu bagi pebisnis pun melakukan presentasi juga dapat menggunakan tablet pc, sebuah iPad dapat dikoneksikan ke projektor, dan tentunya hal ini dapat membuat kamu menjadi terlihat prestige, sangat menunjang karir dan personality.
 Dalam konteks gaya hidup, tablet juga mengubah cara orang dalam bergaya, dapat dikatakan adanya pengaruh lifestyle yang sudah dibentuk oleh iklan sedemikian rupa, banyak orang yang berubah atau mengubah aktifitasnya. Pebisnis tak perlu lagi bertemu dengan koleganya, cukup melalui tablet saja maka informasi maupun transaksi perdagangan bisa dilakukan dengan cepat. Penggunaan tablet dengan efektif sangat diperlukan karena dalam menggunakan tablet tidak hanya dipakai hanya untuk mengikuti trend masa kini atau hanya untuk main game dan bergaya saja. Namun disisi lain, apakah kita benar-benar bisa memakai tablet sesuai dengan fungsi semestinya ataukah hanya mempertaruhkan gengsi semata ?
Beberapa saat yang lalu saya mewawancarai orang-orang yang memakai tablet. Hasilnya memang tidak begitu mengherankan. Narasumber yang pertama bernama Tania (17) kelas 2 SMA, seorang siswi salah satu SMA di Yogyakarta mengaku membeli tablet (Ipad) karena memang tertarik dengan gadget berbentuk tipis tersebut. Kegunaan utama dari tablet menurut dia hanya untuk browsing dan bermain game. Selain itu dia tidak menggunakan tablet untuk kegiatan belajar, misalnya mencari bahan pelajaran melalui tablet. Tania lebih memilih menggunakan laptop ketika akan mengerjakan tugas sekolah. Bagi Tania yang masih remaja,menggunakan tablet dapat menaikkan prestige. Ketika teman-temannya masih menggunakan handphone katakanlah seperti Blackberry yang sudah menjadi handphone pasaran, Tania sudah menggunakan tablet dan hal tersebut memunculkan rasa percaya diri. Terutama ketika ia sedang berada di tempat umum misalnya di Mall atau kafe. Tania menyukai tablet karena bentuk fisiknya yang stylelish, terlihat keren, dan portable atau bisa dibawa kemana-mana. Layar touch pada Ipad dipandang lebih praktis karena tidak perlu menggunakan mouse, jadi tinggal disentuh dengan menggunakan jari saja. Tania juga mengaku bahwa selama memiliki tablet, dia lebih sering bermain game atau hanya sekedar mengutak-atik tablet bahkan bisa sampai berjam-jam.
            Narasumber yang kedua adalah Ferry Christianto (31) adalah seorang pekerja kantoran. Saya menanyakan perihal tablet ke beliau karena beliau bekerja di salah satu perusahaan gadget di Semarang. Ketika saya menanyakan tentang penggunaan tablet, dia tidak tertarik untuk membeli tablet karena tidak bisa digunakan untuk bekerja. Walaupun beliau pernah memiliki tablet. Kegunaan utamanya hanya untuk bermaij games, browsing. Beliau pernah sekali menggunakan tablet hanya untuk sekedar mencoba dan baginya tablet memang lebih asyik digunakan untuk bersantai dengan bermain games atau membaca. Sebagai orang yang bekerja di perusahaan IT dan salah satunya tablet, Ferry mengatakan bahwa pasar tablet di Indonesia cukup tinggi. Walaupun yang memilikinya kebanyakan orang-orang tertentu yang memiliki budget berlebih. Dengan kehadiran tablet seperti Ipad telah memunculkan segmentasi baru pada pasar gadget, Posisi Ipad yang berada antara smartphone dan laptop yang mengakibatkan segmentasi pasar bagi Ipad sehingga tidak menutup kemungkinan pangsa pasar gadget akan dikuasai  oleh Ipad.
            Narasumber yang terakhir adalah Bowo (30), wirausaha. Sudah cukup lama menggunakan tablet. Alasan membeli tablet adalah hanya untuk kepunyaan pribadi dan konsumsi pribadi. Tablet tersebut tidak digunakan untuk bekerja. Namun hanya sekedar bermain games, dan browsing seperti biasa. Menurut Bowo, penggunaan tablet lebih efisien untuk bersantai, ketika akan mengerjakan pekerjaan, ia lebih memilih laptop atau netbook daripada tablet. Menurut Bowo, jika bekerja menggunakan tablet dipandang kurang efektif dan efisien. Layar tablet tidak sebesar laptop maupun netbook, dan kurang fleksibel untuk digunakan. Maksudnya jika menggunakan Ipad, fisik Ipad itu sendiri yang tipis sehingga ketika menggunakannya harus hati-hati. Berbeda dengan laptop atau netbook yang dapat diletakkan di atas meja dengan posisi lebih aman. Laptop atau netbook lebih efisien karena dapat digunakan untuk mengetik, sedangkan tablet lebih merujuk pada fungsi hiburan dan aktualisasi diri. Ketika ditanyakan apakah dengan memiliki tablet dapat menaikkan prestige jawabannya adalah iya, tablet dapat menaikkan prestigenya.
            Dari kesemua narasumber yang saya wawancarai, dapat saya simpulkan bahwa kesemuanya berpendapat bahwa tablet adalah perangkat elektronik yang dikonsumsi pribadi, maksudnya tablet hanya digunakan untuk hiburan misalnya bermain games, bermain jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter maupun browsing internet. Namun satu hal penting yang perlu dicatat adalah masalah gengsi dan prestige. Ternyata rasa prestige sangat mempengaruhi seseorang ketika sudah memiliki tablet. Ada rasa kebanggaan tersendiri karena tablet dipandang hanya dimiliki oleh segelintir orang yang berduit. Selain itu dampak yang diakibatkan adalah menghabiskan waktu apabila hanya digunakan dari segi entertainmentnya saja, contoh : bermain game berjam–jam.
Kemunculan tablet memang cukup menghebohkan masyarakat. Pasar berperan penting dalam kemunculan tablet itu sendiri. Sejak Apple merilis iPad, makin banyak gadget mania yang keranjingan PC tablet. Seperti biasanya, jika suatu produk laris di pasaran, akan banyak produk serupa yang latah hadir. Fenomena ini tentu disambut gembira para operator sebagai penyedia akses mendapatkan gadget tersebut. Selain itu pasar juga sangat bersaing, terutama bagi perusahaan gadget yang selalu berinovasi membuat produk yang lebih canggih dari produk perusahaan saingan. Pasar tablet berkembang cepat dengan banyak tablet baru yang kompetitif dikenalkan kepada publik. Tentunya perusahaan gadget menanamkan rasa “gengsi” yang tinggi agar tidak ketinggalan dan menarik pasar dalam cakupan yang luas.




Hecticnya Jurnalisme Media Cetak



Karya Lukisan Berlandaskan Spiritual Andre Tanama

Media Indonesia-  “For me, any artwork is visualization of God’s gift/ blessing. The process of creating an artwork is a spiritual process. Transforming sense into positive energy that realized into visual language” (A.C. Andre Tanama)
            Adalah Andre Tanama, masterpiece seni murni yang saat ini sudah jadi seniman terkenal. Pria yang sering dipanggil Andre ini,  sejak kecil sudah berkecimpung di dunia seni. Sosok yang dikenal-kenalnya sebagai sosok pendiam ini diam-diam sudah bisa dikategorikan sebagai pelukis tingkat nasional. Karya-karyanya sudah sangat banyak jumlahnya, dan prestasi yang diraih dari hasil karyanya juga tidak sedikit.
            Berawal dari perkenalannya dengan komik Hongkong seperti realis Tapak Sakti atau Tiger Wong karya Tony Wong, Andre belajar menggambar dan meniru gaya goresan realis komik tersebut. Keinginan menggambar akhirnya dilampiaskan dengan media lain. Ada cerita masa kecil dari sang ibunda kalau Andre Tanama sering meminjam lipstick milik ibunya untuk melukis diatas seprai.
            Tidak heran jika menanyakan mata pelajaran kesukaan semasa SMA, Andre dengan mantap menjawab pelajaran menggambar. Jelas saja, karena Andre mengaku hanya fokus pada pelajaran menggambar. Hasrat melukis tidak berhenti pada kanvas saja, pada akhirnya Andre dengan mantap men-tatoo seluruh bagian badannya. Sangat khas seorang seniman, selalu ingin tampil beda.
            Kemampuan melukis Andre memang tidak jauh dari faktor keturunan. Engkong atau sebutan lain dari pamannya memang pintar melukis. Alat yang digunakan beliau untuk melukis adalah dengan soldire. Sedangkan media yang digunakan adalah kulit yang digalukis dengan soldier. Lukisan yang dihasilkan dengan media kulit misalnya Bunda Theresa, Sri Paus, dan almarhum mantan Presiden Soeharto.  
            Disamping cita-citanya ingin menjadi seniman pelukis, sebenarnya cita-cita ini adalah cita-cita keduanya. Sejak lama Andre ingin menjadi seorang pastur. Tetapi karena sesuatu hal, Andre memutuskan untuk keluar dari seminari. Andre kemudian memutuskan untuk masuk ke Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI). Lulus sarjana dengan predikat cum laude Andre kemudian meneruskan pendidikan pasca sarjana dan lulus dengan predikat cum laude. Pria yang lahir pada 28 Maret 1982 ini pernah bekerja di Calista dibagian design grafis dan sempat menjadi guru TK.  Saat ini Andre tercatat menjadi staf pengajar dosen di ISI Yogyakarta sejak tahun 2006.
            Sudah banyak prestasi yang dicetak oleh Andre. Sejak tahun 2000, Andre sudah mengikuti berbagai macam pameran Tidak sedikit dari hasil karyanya yang mendapatkan apresiasi. Bahkan hasil karyanya sudah banyak yang dibawa ke negara lain, seperti Thailand dan Milan, Italia. Prestasi terbesarnya adalah ketika memenangkan juara pertama Trienal Seni Grafis Indonesia II di Bentara Budaya, Jakarta tahun 2006.
            Tercatat sudah lebih dari 100 pameran, baik exhibition dan group exhibition yang telah diikuti. Gelar juara juga tidak sedikit yang berhasil disabet oleh pria terkenal pendiam ini. Misalnya pada tahun 2003 Andre mendapatkan Gudang Garam Scholarship, “Pergelaran Seni KriaISI” Exhibition, National Museum Jakarta; Best Printmaking Artwork, Dies Natalis XIX ISI Yogyakarta; Finalist of Trienal Seni Grafis Indonesia I, Bentara Budaya Jakarta. Masih banyak award yang didapatkan Andre hampir setiap taunnya.
            Ide untuk berkarya bisa datang kapan saja. “Biasanya pas beol (buang air besar) inspirasinya datang,” ujar bapak satu orang anak ini. “ Dateng ke pameran-pameran juga bisa dapat inspirasi dengan melihat hasil karya orang lain,” lanjutnya. Tidak lupa Andre ingin berbagi pengetahuan dan pengalamannya tentang seni yang dituangkannya dalam sebuah buku yang berjudul “Touch of Heaven, The Journey Begins.”
            Andre Tanama selalu serius dalam mengerjakan semua karya lukisannya. Apabila terjadi kesalahan sedikit saja, maka baik media atau lukisannya harus diulangi lagi. Berkarya memang membutuhkan totalitas, apalagi bagi seniman sekaliber Andre Tanama.
            Berbicara mengenai aliran lukisan, Andre berkata, “Bagi saya sendiri, berkarya ga matok ke aliran.” Menurut kurator yang ahli membaca lukisan, karya Andre dapat digolongkan menjadi aliran pop. Aliran pop dapat merangkum seni comical, straight art, atau lowbrow. Awal berkaryanya Andre, tidak ada tendensi untuk memiliah-milah aliran.  
            Melalui karya-karyanya yang berbau lingkungan dan bumi atau soal go green, Andre mengaku ingin menghasilkan karya yang disampaikan tidak secara frontal. Dipilihlah sosok anak perempuan untuk merepresentasikan idenya. Kebetulan juga ada keinginan memiliki anak perempuan ketika sang istri mengandung. Sampai akhirnya perlu ditambahkan identitas nama, “Akhirnya namanya Gwen,” seru Andre dengan suara khas jawanya.
            Sempat terjadi pergeseran dari lukisan Andre. Penggambaran anak kecil dan alam dirasa Andre tidak pas. Andre kemudian kembali berefleksi kembali memikirkan situasi ketika ia melukis. Ternyata Andre menyadari bahwa sosok anak kecil adalah refleksi dari dirinya sendiri.  
            Karakter Gwen menceritakan karakter anak perempuan yang selalu bungkam dan menundukkan wajahnya. Jika dilihat lebih jauh lagi, sepertinya karakter ini terinspirasi dari sang putri. “Gwen adalah refleksi alterego pribadi saya sendiri,” ungkap Andre.  
            Ada juga filosofi nama dari karakter Gwen Silent ini. Putri pertamanya bernama Gwen Sar Ilen. Nama Sae Ilen jika dilafalkan, maka seperti berbunyi “silent”. Secara kebetulan, nama anaknya dan karakter tokoh lukisannya memang sama.  Akhirnya nama Gwen Silent ini dipilih sebagai nama pameran yang dilakukan di Solo Exhibiton dan di Bentara Budaya Jakarta.
            Selain terkenal dengan lukisan dengan karakter Gwen, masih ada karakter lain yang menjadi andalan Andre Tanama, yaitu Wayang Monyong. Wayang Monyong adalah figur lelaki dewasa dengan wajah seperti tokoh waynang wong hanya saya dia tidak memiliki mulut selain corong yang buntu.
            Kedua karakter tersebut sama-sama memiliki persamaan. Persamaan itu adalah kedua figur tersebut sama-sama merefleksikan diri Andre Tanama. Kedua figur tersebut muncu sebagai bentuk metaphor dari sisi-sisi spiritual manusia. Semua karyanya memiliki makna yang tersirat. Hanya dengan kepekaan kepada lingkungan sekitar, maka karyanya tidak jauh dari penglihatan Andre sebagai manusia biasa yang peka terhadap lingkungan.
             Dari beratus-ratus karya yang telah dihasilkan oleh Andre, ada satu karya yang menjadi favoritnya. Dengan nama The Prayer. “Antara seneng dan kecewa,” jelasnya. Setelah lukisan tersebut laku, dengan berat hati Andre melepaskannya. The Prayer sendiri memiliki makna khusus bagi seniman ini. Dalam karyanya, permirsa diajak untuk mengalami dunia Gwen Silent sebagai seorang rahib kecil yang mengandalkan bijih Rosario dan lilin untuk mencari makna kebenaran sejati.
            Sebagai seorang pelukis, Andre tentu memiliki pelukis favoritnya. Affandi, pelukis asal Yogyakarta yang sudah sangat tersohor namanya. “ Affandi bisa mem-branding masyarakat Yogyakarta dari kalangan bawah. menengah, sampai kalangan elit,” kata Andre. Affandi mampu mengkonstruksi pikiran masyarakat sebagai pelukis terkenal, meskipun karya-karyanya  kurang begitu bergaung.
            Keinginan yang belum tercapai bagi Andre adalah memiliki museum sendiri. Sepertinya ada kepuasan tersendiri ketika seorang seniman bisa memiliki tempat untuk memajang hasil karyanya pada publik. Jika dilihat dari karya dan prestasi yang sudah dihasilkan, cita-cita Andre bukan tidak mungkin bisa terlaksana. Tinggal menunggu waktu saja keinginannya dapat terwujud.
            Andre Tanama ingin menunjukkan bahwa apa yang ia lakukan saat ini adalah berkah dari Tuhan. Talenta yang ia kembangkan adalah talenta yang diberikan Tuhan kepadanya. Seperti yang diungkapkannya bahwa “Sebuah karya seni apapun itu bagi saya adalah visualisasi atas anugerah ilahi. Berkarya merupakan suatu proses spiritual. Mengolah rasa menjadi energy positif yang terwujudkan melalui bahasa visual,” (Albertus Charles Andre Tanama).
           

Talk About Theory

MALE GAZE by Laura Mulvey
Pokok-pokok pemikiran
            Posisi perempuan dalam media massa memang bukan wacana yang baru lagi untuk diperbincangkan. Laura Mulvey (1975, 1989) adalah beberapa pemikir feminis yang mencoba mengkaji persoalan representasi dan posisi perempuan dalam media. Bagi Laura Mulvey, perjuangan gender adalah perjuangan untuk mengubah relasi memandang/dipandang. Di dalam dunia yang mengatur berdasarkan kesenjangan seksual, kesenangan memandang dibedakan antara aktif/ pria dan pasif/wanita, khususnya yang terdapat di dalam wacana film.[1]
Dalam kajiannya tentang perempuan dan sinema klasik Hollywood misalnya, Mulvey berasumsi, bahwa perempuan dalam media  sering ditempatkan sebagai erotic object dalam dua level. Pertama, perempuan adalah erotic object di dalam narasi media, dimana karakter   perempuan yang dihadirkan oleh narasi tersebut ditransformasikan sebagai obyek hasrat dari karakter atau tokoh laki-laki. Kedua, perempuan adalah obyek erotik bagi spectator atau penonton media.  Laura Mulvey (1992:347) menjelaskan bagaimana citra perempuan ditampilkan dalam film-film mainstream yang mengkondisikan kamera sebagai cara pandang laki-laki dan ideologi patriarkinya, ia mengatakan bahwa ;
”In a world ordered by sexual imbalance, pleasure in looking has been split between active male and pasive female. The determining male gaze projects its phantasy on to the female figure which is styled accordingly”

(Didalam sebuah dunia yang diatur berdasarkan aturan yang berpihak terhadap jenis kelamin tertentu, kenikmatan menonton telah disalah artikan dengan menempatkan perempuan sebagai yang ditonton (pasif) dan laki-laki sebagai yang menonton (aktif). Determinasi cara pandang laki-laki dengan fantasinya diproyeksikan melalui figure perempuan (dilayar) yang telah diatur sedemikian rupa).
     
Feminisme lahir berkat banyaknya pemikiran pemikiran kritis terhadap psikoanalisa, bagi para feminis psikoanalisis dapat merombak referensi yang telah terbentuk oleh karena konstruksi sosial masyarakat. Salah satunya Laura Mulvey yang gagasannya dipengaruhi oleh teori psikoanalisa yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Beliau berpendapat bahwa pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan yang ada dalam masyarakat merupakan konsekuensi logis dari kodratnya masing-masing. Laura Mulvey menggali ketidaksadaran unconscious dalam mengembangkan psikoanlisa dimana psikoanalisa tersebut adalah teori milik Sigmund Freud. Dimana pandangan Freud ini juga menyatakan bahwa kesadaran kita ditentukan oleh masyarakat tempat kita lahir, bukan semata-mata oleh bawaan alami atau psikologi individual kita. Laura Mulvey melihat fondasi pemikiran Freud (oedipus complex) maupun Lacan (phase mirror), dominasi perspektif gender laki laki tidak bisa dilepaskan.
Laura Mulvey berpendapat keaktifan lelaki melihat melahirkan rasa ingin tahu yang meluap-luap sedangkan perempuan pula merupakan objek pasif kepada penglihatan tersebut. Pandangan aktif dari lelaki tersebut mendominasi neratif dan perempuan yang menjadi objek sekaligus menimbulkan kesan voyeurism di kalangan penonton apabila penonton turut merasa apa yang dirasa oleh subjek. Voyeurism adalah suatu teknik yang membawa lelaki kepada fantasi seksualiti.
Satu pandangan yang sangat dekat dengan isu perempuan seni tradisi adalah male gaze, Laura Mulvey (1990). Mulvey menjelaskan konsep male gaze dalam industri sinematografi, yang menurutnya terlalu menggunakan pandangan laki-laki. Perempuan sendiri tidak diposisikan sebagai subyek yang punya kuasa atas dirinya sendiri (self-possessiveness) melainkan sebagai object of male gaze. Mata dari sebuah kamera pun diibaratkan sebagai mata seorang laki-laki sehingga tampilan perempuan di dalam media cenderung tunduk pada kontrol tatapan mata laki-laki. Pesan yang ada dalam film dipengaruhi oleh laki-laki yang kemudian disampaikan pada penonton, sementara perempuan hanya menjadi tontonan.
Mengapa perempuan semakin sering dijadikan objek seks dalam film masa kini? Laura Mulvey menyebutkan hal ini disebabkan oleh karena seluruh aparatus sinema amat bergantung pada konsep yang muncul dari cara pandang laki-laki dalam melihat perempuan. Ini berkaitan dengan proses sosial yang terjadi dalam masyarakat, yang sebenarnya mengekspresikan ketimpangan dalam kekuasaan sosial. Mengobjekkan seks, menurut Catherine MacKinnon, sebenarnya adalah suatu proses utama dalam menaklukkan perempuan. Karena, dengan mengobjekkan hal ini, seks menjadi sebuah kenyataan material dan tidak sekedar suatu yang psikologis atau sesuatu yang menunjukkan sikap tertentu atau sesuatu yang ideologis.[2]
Selain itu, meskipun setiap film menampilkan katakter wanita, namun dalam genre tersebut−lewat praktik produksi film yang sudah berjalan lama−tempat bagi wanita hanyalah peran tambahan sehingga citra dan tindakan wanita fungsinya kecil dan/atau tidak penting dalam naratif. Dalam narasi-narasi tersebut, wanita tidaklah bertindak melainkan hanya menjadi bagian dari konteks dan rationale tindakan pria.[3]
Male gaze juga dapat berarti fantasi laki-laki tentang figur perempuan, perempuan juga diarahkan agar “to be look at ness”. Agar perempuan “enak dipandang”, maka perempuan ditampilkan untuk kekuatan visual dan erotis, digambarkan sebagai obyek seksual, menampilkan diri untuk kepuasan laki-laki. Film juga seringkali menampilkan laki-laki sebagai tokoh protagonis, perempuan hanyalah dijadikan material pasif untuk tatapan laki-laki (aktif). Perempuan tidak pernah dimenangkan, tapi dihadirkan sebagai femme fatales: perempuan yang mempunyai daya tarik kuat bagi lelaki, tapi mengakibatkan bahaya dan menimbulkan ketidakbahagiaan. Secara moral, perempuan dianggap mengalami kekosongan.
Essay Mulvey ditulis sebagi gugatannya atas wacana dominan yang ada pada sinema Hollywood, perempuan selalu dijadikan sebagai objek atas laki-laki. Cara pandang laki-laki (male gaze) ini diadaptasi menjadi cerita dan kemudian dipertontonkan kepada masyarakat yang notabene tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan. Agenda dekonstruksi cara pandang dalam film, didengungkan oleh Mulvey melalui dua essaynya "Visual Pleasure and Narrative Cinema " dan "Afterthoughts on Visual Pleasure and Narrative Cinema ". yang ditulis pada dekade 1970-an. Dua essay ini berangkat dari pemikiran tokoh psikoanalisa yang terutama Jacques Lacan yang memaparkan tentang keadaan psikologis dari seorang manusia. Melalui essay tersebut, Mulvey memperkenalkan konsep male gaze yang dominan pada film-film Hollywood. Ia menyayangkan ketika dominasi ideologi patriarkis itu tetap dan terus diproduksi untuk disebarkan melalui sinema. Ia mencoba memberikan ideologi alternatif kepada masyarakat dengan membuat reversal gaze-female gaze.
 Jadi citra perempuan yang negatif yang sering ditemukan dalam film adalah citra yang menggambarkan perempuan sebagai manusia yang kurang akal, lekas marah, lekas menangis, kalaupun ada gambaran perempuan yang mandiri, pada akhirnya perempuan ditampilkan sebagai contoh perempuan yang melawan kenyataan yang hidup di tengah masyarakat.
Kemunculan citra seperti ini muncul melalui pandangan bahwa perempuan hanya bertanggung jawab terhadap kegiatan didalam rumah dan perempuan bernaung di bawah kekuasaan laki-laki. Pandangan seperti ini terjadi melalui nilai-nilai yang dibentuk dan dimanifestasikan oleh masyarakat patriarki dan aturan yang diciptakan oleh pemerintah atau negara.
Male-gaze lahir karena adanya wacana-wacana yang muncul dari budaya patriarki, yakni sebuah cara pandang yang selama ini berlaku begitu saja pada laki-laki, dan cara pandang ini bisa saja tidak sama, berbeda, bertolak belakang, berlawanan dengan cara pandang perempuan. Salah satu agenda pokok yang harus dilakukan oleh perempuan adalah “bertarung” dalam pembentukan dan penafsiran wacana publik (public discourse).
 Setiap ranah—di mana pun dan kapan pun—akan selalu terdapat pertarungan antara “yang mendominasi” dan “yang didominasi”, antara self dan others. Dengan menggunakan modal yang dimilikinya—misalnya kepandaian, kekuasaan, dan kemashuran—perempuan sudah seharusnya terlibat secara aktif-kreatif dalam pembentukan dan penafsiran wacana publik yang lebih berwajah perempuan—atau paling tidak—tidak resisten pada perempuan.

Contoh program acara :
  1. Film Inem Pelayan Sexy (Film terlaris pertama, 1977) karya terunggul sutradaranya Abbas Acup. Inem pelayan biasa sebuah rumah tangga yang cantik dan seksi−di awal film ditonjolkan dengan belahan dada yang tampak separuh dan goyangan pantat sewaktu mengepel lantai−sering menarik perhatian mata tuan-nya. Inem ini dijatuhcintai dan dinikahkan oleh direktur tempat tuannya bekerja. Maka situasi menjadi “terbalik-balik”, tuan dan nyonya harus bersikap hormat kepada bekas pelayannya yang sudah jadi nyonya direktur. Tidak ada yang berubah dalam diri Inem, bahkan untuk pakaiannya dan statusnya.
  2. Tayangan berformat investigative yaitu "Fenomena" (Trans TV), "Hitam Putih" (Indosiar) dan "Sisi Gelap" (Lativi). Ketiga program tersebut sering ditegur Komisi Penyiaran Indonesia (KP1) karena menonjolkan unsur seksual serta berkesan cabul. perempuan adalah objek pelampiasan seksual kaum lelaki, baik dalam posisi sebagai kekasih maupun pekerja seks komersial yang ada di pinggir jalan. Perempuan tidak mampu bargaining dalam mengambil posisi.
Kritik akan pemikiran feminist tersebut dibalik keberhasilan para feminist menggambarkan kepada kita mengenai berbagai gambaran suram potret wanita di media massa. Namun terdapat kritik dimana perlu disertakan mengingat dua kecenderungan yang terjadi belakangan. Pertama, kecenderungan penelitian yang mempermasalahkan cara berpikir kita terhadap isi media dan gambaran wanita. Kedua, adalah perubahan isi media itu sendiri yang seakan-akan telah menyelesaikan masalah kaum feminist mengenai gambaran kaum wanita.[4]


[1] Laura Mulvey, “Visual Pleasure and Narrative Cinema,” Makalah, University of Winsconsin, 1973.
[2] Pandangan Mulvey dan MacKinnon dikutip dari Humm, Maggie (Ed.) (1989). The Dictionary of Feminist Theory. Great Britain: Harvester Wheatsheaf. Pandangan Mulvey lebih lanjut dapat dilihat dalam tulisannya dalam “Visual Pleasure and Narrative Cinema”, Screen, vol. 16, No. 3, 1975, Autumn, hlm 6-19. Pandangan MacKinnon lebih dalam lagi dapat dibaca pada “Feminism, Marxism, Method and the State: An Agenda for Theory”, dalam Feminist Theory, N.O. Keohane et al. (Eds.). (Brighton: Harvester Press, 1982).
[3] Paralel dengan keglamoran dalam sinema Barat. Laura Mulvey mengutip seorang sutradara Hollywood, Budd Boetticher, yang mengatakan ,”Yang diperhitungkan adalah film yang menampilkan figure wanita super hero, bukan apa yang dipresentasikan wanita. Wanita adalah salah seorang hero, bukan sekedar kekasih atau ketakutan wanita yang menjadi inspirasi hero, atau bahkan kepeduliannya terhadap wanita, yang membuatnya menjadi bertindak seperti yang dilakukannya itu. Pada dirinya sendiri wanita itu bukanlah terletak pada kerapuhannya itu yang penting. (Mulvey, “Visual Pleasure and the Narrative Cinema” dalam Tonny Bennet et al. (Eds), Popular Televison and Film, (London: Open University Press, 1981), hlm.209
[4] Lihat Rakow, “Feminist Perspective…..,” op. cit