MALE GAZE by Laura Mulvey
Pokok-pokok
pemikiran
Posisi perempuan
dalam media massa memang bukan wacana yang baru lagi untuk diperbincangkan. Laura Mulvey (1975, 1989) adalah beberapa pemikir feminis
yang mencoba mengkaji persoalan representasi dan posisi perempuan dalam media. Bagi Laura Mulvey, perjuangan gender adalah perjuangan untuk mengubah
relasi memandang/dipandang. Di dalam dunia yang mengatur berdasarkan
kesenjangan seksual, kesenangan memandang dibedakan antara aktif/ pria dan
pasif/wanita, khususnya yang terdapat di dalam wacana film.[1]
Dalam kajiannya tentang perempuan dan sinema klasik Hollywood misalnya,
Mulvey berasumsi, bahwa perempuan dalam media
sering ditempatkan sebagai erotic object dalam dua
level. Pertama, perempuan adalah erotic object di dalam
narasi media, dimana karakter perempuan
yang dihadirkan oleh narasi tersebut ditransformasikan sebagai obyek hasrat
dari karakter atau tokoh laki-laki. Kedua, perempuan adalah obyek erotik bagi spectator
atau penonton media. Laura Mulvey (1992:347)
menjelaskan bagaimana citra perempuan ditampilkan dalam film-film mainstream
yang mengkondisikan kamera sebagai cara pandang laki-laki dan ideologi
patriarkinya, ia mengatakan bahwa ;
”In a world ordered by sexual imbalance,
pleasure in looking has been split between active male and pasive female. The
determining male gaze projects its phantasy on to the female figure which is
styled accordingly”
(Didalam
sebuah dunia yang diatur berdasarkan aturan yang berpihak terhadap jenis
kelamin tertentu, kenikmatan menonton telah disalah artikan dengan menempatkan
perempuan sebagai yang ditonton (pasif) dan laki-laki sebagai yang menonton
(aktif). Determinasi cara pandang laki-laki dengan fantasinya diproyeksikan
melalui figure perempuan (dilayar) yang telah diatur sedemikian rupa).
Feminisme lahir berkat banyaknya pemikiran pemikiran
kritis terhadap psikoanalisa, bagi para feminis psikoanalisis dapat merombak
referensi yang telah terbentuk oleh karena konstruksi sosial masyarakat. Salah satunya Laura Mulvey yang gagasannya
dipengaruhi oleh teori psikoanalisa yang dikemukakan oleh Sigmund
Freud. Beliau berpendapat bahwa pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan
yang ada dalam masyarakat merupakan konsekuensi logis dari kodratnya
masing-masing. Laura Mulvey menggali
ketidaksadaran unconscious dalam
mengembangkan psikoanlisa dimana psikoanalisa tersebut adalah teori milik
Sigmund Freud. Dimana pandangan Freud ini juga menyatakan bahwa kesadaran kita
ditentukan oleh masyarakat tempat kita lahir, bukan semata-mata oleh bawaan
alami atau psikologi individual kita. Laura Mulvey melihat fondasi pemikiran
Freud (oedipus complex) maupun Lacan (phase mirror), dominasi perspektif
gender laki laki tidak bisa dilepaskan.
Laura Mulvey berpendapat keaktifan lelaki melihat melahirkan rasa
ingin tahu yang meluap-luap sedangkan perempuan pula merupakan objek pasif
kepada penglihatan tersebut. Pandangan aktif dari lelaki tersebut mendominasi
neratif dan perempuan yang menjadi objek sekaligus menimbulkan kesan voyeurism di kalangan penonton apabila
penonton turut merasa apa yang dirasa oleh subjek. Voyeurism adalah suatu teknik yang membawa lelaki kepada fantasi
seksualiti.
Satu
pandangan yang sangat dekat dengan isu perempuan seni tradisi adalah male gaze,
Laura Mulvey (1990). Mulvey menjelaskan konsep male gaze dalam industri sinematografi, yang menurutnya terlalu
menggunakan pandangan laki-laki. Perempuan sendiri tidak diposisikan sebagai
subyek yang punya kuasa atas dirinya sendiri (self-possessiveness) melainkan sebagai object of male gaze. Mata dari sebuah
kamera pun diibaratkan sebagai mata seorang laki-laki sehingga tampilan perempuan di dalam media cenderung tunduk pada kontrol tatapan mata laki-laki.
Pesan yang ada dalam
film dipengaruhi oleh laki-laki yang kemudian disampaikan pada penonton,
sementara perempuan hanya menjadi tontonan.
Mengapa
perempuan semakin sering dijadikan objek seks dalam film masa kini? Laura
Mulvey menyebutkan hal ini disebabkan oleh karena seluruh aparatus sinema amat
bergantung pada konsep yang muncul dari cara pandang laki-laki dalam melihat
perempuan. Ini berkaitan dengan proses sosial yang terjadi dalam masyarakat,
yang sebenarnya mengekspresikan ketimpangan dalam kekuasaan sosial.
Mengobjekkan seks, menurut Catherine MacKinnon, sebenarnya adalah suatu proses
utama dalam menaklukkan perempuan. Karena, dengan mengobjekkan hal ini, seks
menjadi sebuah kenyataan material dan tidak sekedar suatu yang psikologis atau
sesuatu yang menunjukkan sikap tertentu atau sesuatu yang ideologis.[2]
Selain
itu, meskipun setiap film menampilkan katakter wanita, namun dalam genre
tersebut−lewat praktik produksi film yang sudah berjalan lama−tempat bagi
wanita hanyalah peran tambahan sehingga citra dan tindakan wanita fungsinya
kecil dan/atau tidak penting dalam naratif. Dalam narasi-narasi tersebut,
wanita tidaklah bertindak melainkan hanya menjadi bagian dari konteks dan rationale tindakan pria.[3]
Male
gaze juga dapat berarti fantasi laki-laki tentang figur perempuan, perempuan
juga diarahkan agar “to be look at ness”.
Agar perempuan “enak dipandang”, maka perempuan ditampilkan untuk kekuatan
visual dan erotis, digambarkan sebagai obyek seksual, menampilkan diri untuk
kepuasan laki-laki. Film juga seringkali menampilkan laki-laki sebagai tokoh
protagonis, perempuan hanyalah dijadikan material pasif untuk tatapan laki-laki
(aktif). Perempuan tidak pernah dimenangkan, tapi dihadirkan sebagai femme fatales: perempuan yang mempunyai
daya tarik kuat bagi lelaki, tapi mengakibatkan bahaya dan menimbulkan
ketidakbahagiaan. Secara moral, perempuan dianggap mengalami kekosongan.
Essay
Mulvey ditulis sebagi gugatannya atas wacana dominan yang ada pada sinema Hollywood,
perempuan selalu dijadikan sebagai objek atas laki-laki. Cara pandang laki-laki
(male gaze) ini diadaptasi menjadi cerita dan kemudian dipertontonkan kepada
masyarakat yang notabene tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan. Agenda
dekonstruksi cara pandang dalam film, didengungkan oleh Mulvey melalui dua
essaynya "Visual Pleasure and
Narrative Cinema " dan "Afterthoughts
on Visual Pleasure and Narrative Cinema
". yang ditulis pada dekade 1970-an. Dua essay ini berangkat dari
pemikiran tokoh psikoanalisa yang terutama Jacques Lacan yang memaparkan
tentang keadaan psikologis dari seorang manusia. Melalui essay tersebut, Mulvey
memperkenalkan konsep male gaze yang
dominan pada film-film Hollywood. Ia menyayangkan ketika dominasi ideologi
patriarkis itu tetap dan terus diproduksi untuk disebarkan melalui sinema. Ia
mencoba memberikan ideologi alternatif kepada masyarakat dengan membuat reversal gaze-female gaze.
Jadi citra
perempuan yang negatif yang sering ditemukan dalam film adalah citra yang
menggambarkan perempuan sebagai manusia yang kurang akal, lekas marah, lekas
menangis, kalaupun ada gambaran perempuan yang mandiri, pada akhirnya perempuan
ditampilkan sebagai contoh perempuan yang melawan kenyataan yang hidup di
tengah masyarakat.
Kemunculan citra seperti ini muncul melalui
pandangan bahwa perempuan hanya bertanggung jawab terhadap kegiatan didalam
rumah dan perempuan bernaung di bawah kekuasaan laki-laki. Pandangan seperti
ini terjadi melalui nilai-nilai yang dibentuk dan dimanifestasikan oleh masyarakat
patriarki dan aturan yang diciptakan oleh pemerintah atau negara.
Male-gaze lahir karena adanya wacana-wacana yang muncul dari budaya patriarki,
yakni sebuah cara pandang yang selama ini berlaku begitu saja pada laki-laki,
dan cara pandang ini bisa saja tidak sama, berbeda, bertolak belakang,
berlawanan dengan cara pandang perempuan. Salah satu agenda pokok yang harus
dilakukan oleh perempuan adalah “bertarung” dalam pembentukan dan penafsiran
wacana publik (public discourse).
Setiap ranah—di mana pun dan kapan pun—akan
selalu terdapat pertarungan antara “yang mendominasi” dan “yang didominasi”,
antara self dan others. Dengan menggunakan modal yang dimilikinya—misalnya
kepandaian, kekuasaan, dan kemashuran—perempuan sudah seharusnya terlibat
secara aktif-kreatif dalam pembentukan dan penafsiran wacana publik yang lebih
berwajah perempuan—atau paling tidak—tidak resisten pada perempuan.
Contoh
program acara :
- Film Inem Pelayan Sexy (Film terlaris
pertama, 1977) karya terunggul sutradaranya Abbas Acup. Inem pelayan biasa
sebuah rumah tangga yang cantik dan seksi−di awal film ditonjolkan dengan
belahan dada yang tampak separuh dan goyangan pantat sewaktu mengepel
lantai−sering menarik perhatian mata tuan-nya. Inem ini dijatuhcintai dan
dinikahkan oleh direktur tempat tuannya bekerja. Maka situasi menjadi
“terbalik-balik”, tuan dan nyonya harus bersikap hormat kepada bekas
pelayannya yang sudah jadi nyonya direktur. Tidak ada yang berubah dalam
diri Inem, bahkan untuk pakaiannya dan statusnya.
- Tayangan berformat investigative
yaitu "Fenomena"
(Trans TV), "Hitam Putih"
(Indosiar) dan "Sisi Gelap"
(Lativi). Ketiga program tersebut sering ditegur Komisi Penyiaran Indonesia
(KP1) karena menonjolkan unsur seksual serta berkesan cabul. perempuan
adalah objek pelampiasan seksual kaum lelaki, baik dalam posisi sebagai kekasih
maupun pekerja seks komersial yang ada di pinggir jalan. Perempuan tidak
mampu bargaining dalam mengambil posisi.
Kritik
akan pemikiran feminist tersebut dibalik keberhasilan para feminist
menggambarkan kepada kita mengenai berbagai gambaran suram potret wanita di
media massa. Namun terdapat kritik dimana perlu disertakan mengingat dua
kecenderungan yang terjadi belakangan. Pertama,
kecenderungan penelitian yang mempermasalahkan cara berpikir kita terhadap isi
media dan gambaran wanita. Kedua,
adalah perubahan isi media itu sendiri yang seakan-akan telah menyelesaikan
masalah kaum feminist mengenai gambaran kaum wanita.[4]
[2] Pandangan Mulvey dan MacKinnon
dikutip dari Humm, Maggie (Ed.) (1989). The
Dictionary of Feminist Theory. Great Britain: Harvester Wheatsheaf.
Pandangan Mulvey lebih lanjut dapat dilihat dalam tulisannya dalam “Visual
Pleasure and Narrative Cinema”, Screen,
vol. 16, No. 3, 1975, Autumn, hlm 6-19. Pandangan MacKinnon lebih dalam lagi
dapat dibaca pada “Feminism, Marxism, Method and the State: An Agenda for
Theory”, dalam Feminist Theory, N.O.
Keohane et al. (Eds.). (Brighton:
Harvester Press, 1982).
[3] Paralel dengan keglamoran dalam
sinema Barat. Laura Mulvey mengutip seorang sutradara Hollywood, Budd
Boetticher, yang mengatakan ,”Yang diperhitungkan adalah film yang menampilkan
figure wanita super hero, bukan apa yang dipresentasikan wanita. Wanita adalah
salah seorang hero, bukan sekedar kekasih atau ketakutan wanita yang menjadi
inspirasi hero, atau bahkan kepeduliannya terhadap wanita, yang membuatnya
menjadi bertindak seperti yang dilakukannya itu. Pada dirinya sendiri wanita
itu bukanlah terletak pada kerapuhannya itu yang penting. (Mulvey, “Visual
Pleasure and the Narrative Cinema” dalam Tonny Bennet et al. (Eds), Popular
Televison and Film, (London: Open University Press, 1981), hlm.209
[4] Lihat Rakow, “Feminist
Perspective…..,” op. cit
Elok...saya suka postingan ini dab layak jadi konsep berkarya
ReplyDeleteRalat Dab=dan
Delete