Saturday, March 10, 2012

Talk About Theory

MALE GAZE by Laura Mulvey
Pokok-pokok pemikiran
            Posisi perempuan dalam media massa memang bukan wacana yang baru lagi untuk diperbincangkan. Laura Mulvey (1975, 1989) adalah beberapa pemikir feminis yang mencoba mengkaji persoalan representasi dan posisi perempuan dalam media. Bagi Laura Mulvey, perjuangan gender adalah perjuangan untuk mengubah relasi memandang/dipandang. Di dalam dunia yang mengatur berdasarkan kesenjangan seksual, kesenangan memandang dibedakan antara aktif/ pria dan pasif/wanita, khususnya yang terdapat di dalam wacana film.[1]
Dalam kajiannya tentang perempuan dan sinema klasik Hollywood misalnya, Mulvey berasumsi, bahwa perempuan dalam media  sering ditempatkan sebagai erotic object dalam dua level. Pertama, perempuan adalah erotic object di dalam narasi media, dimana karakter   perempuan yang dihadirkan oleh narasi tersebut ditransformasikan sebagai obyek hasrat dari karakter atau tokoh laki-laki. Kedua, perempuan adalah obyek erotik bagi spectator atau penonton media.  Laura Mulvey (1992:347) menjelaskan bagaimana citra perempuan ditampilkan dalam film-film mainstream yang mengkondisikan kamera sebagai cara pandang laki-laki dan ideologi patriarkinya, ia mengatakan bahwa ;
”In a world ordered by sexual imbalance, pleasure in looking has been split between active male and pasive female. The determining male gaze projects its phantasy on to the female figure which is styled accordingly”

(Didalam sebuah dunia yang diatur berdasarkan aturan yang berpihak terhadap jenis kelamin tertentu, kenikmatan menonton telah disalah artikan dengan menempatkan perempuan sebagai yang ditonton (pasif) dan laki-laki sebagai yang menonton (aktif). Determinasi cara pandang laki-laki dengan fantasinya diproyeksikan melalui figure perempuan (dilayar) yang telah diatur sedemikian rupa).
     
Feminisme lahir berkat banyaknya pemikiran pemikiran kritis terhadap psikoanalisa, bagi para feminis psikoanalisis dapat merombak referensi yang telah terbentuk oleh karena konstruksi sosial masyarakat. Salah satunya Laura Mulvey yang gagasannya dipengaruhi oleh teori psikoanalisa yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Beliau berpendapat bahwa pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan yang ada dalam masyarakat merupakan konsekuensi logis dari kodratnya masing-masing. Laura Mulvey menggali ketidaksadaran unconscious dalam mengembangkan psikoanlisa dimana psikoanalisa tersebut adalah teori milik Sigmund Freud. Dimana pandangan Freud ini juga menyatakan bahwa kesadaran kita ditentukan oleh masyarakat tempat kita lahir, bukan semata-mata oleh bawaan alami atau psikologi individual kita. Laura Mulvey melihat fondasi pemikiran Freud (oedipus complex) maupun Lacan (phase mirror), dominasi perspektif gender laki laki tidak bisa dilepaskan.
Laura Mulvey berpendapat keaktifan lelaki melihat melahirkan rasa ingin tahu yang meluap-luap sedangkan perempuan pula merupakan objek pasif kepada penglihatan tersebut. Pandangan aktif dari lelaki tersebut mendominasi neratif dan perempuan yang menjadi objek sekaligus menimbulkan kesan voyeurism di kalangan penonton apabila penonton turut merasa apa yang dirasa oleh subjek. Voyeurism adalah suatu teknik yang membawa lelaki kepada fantasi seksualiti.
Satu pandangan yang sangat dekat dengan isu perempuan seni tradisi adalah male gaze, Laura Mulvey (1990). Mulvey menjelaskan konsep male gaze dalam industri sinematografi, yang menurutnya terlalu menggunakan pandangan laki-laki. Perempuan sendiri tidak diposisikan sebagai subyek yang punya kuasa atas dirinya sendiri (self-possessiveness) melainkan sebagai object of male gaze. Mata dari sebuah kamera pun diibaratkan sebagai mata seorang laki-laki sehingga tampilan perempuan di dalam media cenderung tunduk pada kontrol tatapan mata laki-laki. Pesan yang ada dalam film dipengaruhi oleh laki-laki yang kemudian disampaikan pada penonton, sementara perempuan hanya menjadi tontonan.
Mengapa perempuan semakin sering dijadikan objek seks dalam film masa kini? Laura Mulvey menyebutkan hal ini disebabkan oleh karena seluruh aparatus sinema amat bergantung pada konsep yang muncul dari cara pandang laki-laki dalam melihat perempuan. Ini berkaitan dengan proses sosial yang terjadi dalam masyarakat, yang sebenarnya mengekspresikan ketimpangan dalam kekuasaan sosial. Mengobjekkan seks, menurut Catherine MacKinnon, sebenarnya adalah suatu proses utama dalam menaklukkan perempuan. Karena, dengan mengobjekkan hal ini, seks menjadi sebuah kenyataan material dan tidak sekedar suatu yang psikologis atau sesuatu yang menunjukkan sikap tertentu atau sesuatu yang ideologis.[2]
Selain itu, meskipun setiap film menampilkan katakter wanita, namun dalam genre tersebut−lewat praktik produksi film yang sudah berjalan lama−tempat bagi wanita hanyalah peran tambahan sehingga citra dan tindakan wanita fungsinya kecil dan/atau tidak penting dalam naratif. Dalam narasi-narasi tersebut, wanita tidaklah bertindak melainkan hanya menjadi bagian dari konteks dan rationale tindakan pria.[3]
Male gaze juga dapat berarti fantasi laki-laki tentang figur perempuan, perempuan juga diarahkan agar “to be look at ness”. Agar perempuan “enak dipandang”, maka perempuan ditampilkan untuk kekuatan visual dan erotis, digambarkan sebagai obyek seksual, menampilkan diri untuk kepuasan laki-laki. Film juga seringkali menampilkan laki-laki sebagai tokoh protagonis, perempuan hanyalah dijadikan material pasif untuk tatapan laki-laki (aktif). Perempuan tidak pernah dimenangkan, tapi dihadirkan sebagai femme fatales: perempuan yang mempunyai daya tarik kuat bagi lelaki, tapi mengakibatkan bahaya dan menimbulkan ketidakbahagiaan. Secara moral, perempuan dianggap mengalami kekosongan.
Essay Mulvey ditulis sebagi gugatannya atas wacana dominan yang ada pada sinema Hollywood, perempuan selalu dijadikan sebagai objek atas laki-laki. Cara pandang laki-laki (male gaze) ini diadaptasi menjadi cerita dan kemudian dipertontonkan kepada masyarakat yang notabene tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan. Agenda dekonstruksi cara pandang dalam film, didengungkan oleh Mulvey melalui dua essaynya "Visual Pleasure and Narrative Cinema " dan "Afterthoughts on Visual Pleasure and Narrative Cinema ". yang ditulis pada dekade 1970-an. Dua essay ini berangkat dari pemikiran tokoh psikoanalisa yang terutama Jacques Lacan yang memaparkan tentang keadaan psikologis dari seorang manusia. Melalui essay tersebut, Mulvey memperkenalkan konsep male gaze yang dominan pada film-film Hollywood. Ia menyayangkan ketika dominasi ideologi patriarkis itu tetap dan terus diproduksi untuk disebarkan melalui sinema. Ia mencoba memberikan ideologi alternatif kepada masyarakat dengan membuat reversal gaze-female gaze.
 Jadi citra perempuan yang negatif yang sering ditemukan dalam film adalah citra yang menggambarkan perempuan sebagai manusia yang kurang akal, lekas marah, lekas menangis, kalaupun ada gambaran perempuan yang mandiri, pada akhirnya perempuan ditampilkan sebagai contoh perempuan yang melawan kenyataan yang hidup di tengah masyarakat.
Kemunculan citra seperti ini muncul melalui pandangan bahwa perempuan hanya bertanggung jawab terhadap kegiatan didalam rumah dan perempuan bernaung di bawah kekuasaan laki-laki. Pandangan seperti ini terjadi melalui nilai-nilai yang dibentuk dan dimanifestasikan oleh masyarakat patriarki dan aturan yang diciptakan oleh pemerintah atau negara.
Male-gaze lahir karena adanya wacana-wacana yang muncul dari budaya patriarki, yakni sebuah cara pandang yang selama ini berlaku begitu saja pada laki-laki, dan cara pandang ini bisa saja tidak sama, berbeda, bertolak belakang, berlawanan dengan cara pandang perempuan. Salah satu agenda pokok yang harus dilakukan oleh perempuan adalah “bertarung” dalam pembentukan dan penafsiran wacana publik (public discourse).
 Setiap ranah—di mana pun dan kapan pun—akan selalu terdapat pertarungan antara “yang mendominasi” dan “yang didominasi”, antara self dan others. Dengan menggunakan modal yang dimilikinya—misalnya kepandaian, kekuasaan, dan kemashuran—perempuan sudah seharusnya terlibat secara aktif-kreatif dalam pembentukan dan penafsiran wacana publik yang lebih berwajah perempuan—atau paling tidak—tidak resisten pada perempuan.

Contoh program acara :
  1. Film Inem Pelayan Sexy (Film terlaris pertama, 1977) karya terunggul sutradaranya Abbas Acup. Inem pelayan biasa sebuah rumah tangga yang cantik dan seksi−di awal film ditonjolkan dengan belahan dada yang tampak separuh dan goyangan pantat sewaktu mengepel lantai−sering menarik perhatian mata tuan-nya. Inem ini dijatuhcintai dan dinikahkan oleh direktur tempat tuannya bekerja. Maka situasi menjadi “terbalik-balik”, tuan dan nyonya harus bersikap hormat kepada bekas pelayannya yang sudah jadi nyonya direktur. Tidak ada yang berubah dalam diri Inem, bahkan untuk pakaiannya dan statusnya.
  2. Tayangan berformat investigative yaitu "Fenomena" (Trans TV), "Hitam Putih" (Indosiar) dan "Sisi Gelap" (Lativi). Ketiga program tersebut sering ditegur Komisi Penyiaran Indonesia (KP1) karena menonjolkan unsur seksual serta berkesan cabul. perempuan adalah objek pelampiasan seksual kaum lelaki, baik dalam posisi sebagai kekasih maupun pekerja seks komersial yang ada di pinggir jalan. Perempuan tidak mampu bargaining dalam mengambil posisi.
Kritik akan pemikiran feminist tersebut dibalik keberhasilan para feminist menggambarkan kepada kita mengenai berbagai gambaran suram potret wanita di media massa. Namun terdapat kritik dimana perlu disertakan mengingat dua kecenderungan yang terjadi belakangan. Pertama, kecenderungan penelitian yang mempermasalahkan cara berpikir kita terhadap isi media dan gambaran wanita. Kedua, adalah perubahan isi media itu sendiri yang seakan-akan telah menyelesaikan masalah kaum feminist mengenai gambaran kaum wanita.[4]


[1] Laura Mulvey, “Visual Pleasure and Narrative Cinema,” Makalah, University of Winsconsin, 1973.
[2] Pandangan Mulvey dan MacKinnon dikutip dari Humm, Maggie (Ed.) (1989). The Dictionary of Feminist Theory. Great Britain: Harvester Wheatsheaf. Pandangan Mulvey lebih lanjut dapat dilihat dalam tulisannya dalam “Visual Pleasure and Narrative Cinema”, Screen, vol. 16, No. 3, 1975, Autumn, hlm 6-19. Pandangan MacKinnon lebih dalam lagi dapat dibaca pada “Feminism, Marxism, Method and the State: An Agenda for Theory”, dalam Feminist Theory, N.O. Keohane et al. (Eds.). (Brighton: Harvester Press, 1982).
[3] Paralel dengan keglamoran dalam sinema Barat. Laura Mulvey mengutip seorang sutradara Hollywood, Budd Boetticher, yang mengatakan ,”Yang diperhitungkan adalah film yang menampilkan figure wanita super hero, bukan apa yang dipresentasikan wanita. Wanita adalah salah seorang hero, bukan sekedar kekasih atau ketakutan wanita yang menjadi inspirasi hero, atau bahkan kepeduliannya terhadap wanita, yang membuatnya menjadi bertindak seperti yang dilakukannya itu. Pada dirinya sendiri wanita itu bukanlah terletak pada kerapuhannya itu yang penting. (Mulvey, “Visual Pleasure and the Narrative Cinema” dalam Tonny Bennet et al. (Eds), Popular Televison and Film, (London: Open University Press, 1981), hlm.209
[4] Lihat Rakow, “Feminist Perspective…..,” op. cit

2 comments: