Teropong Perempuan Dalam Media
Seperti yang kita ketahui bahwa berbagai persoalan tentang
wanita masih menjadi isu yang marak untuk diperbincangkan. Terutama ketika
Indonesia sudah memasuki masa reformasi, dimana masyarakat diberikan kebebasan
untuk mengekspresikan diri mereka, khususnya dalam bermedia. Media massa telah
memasuki jaman atau era kebebasan penuh tanpa ada pembredelan, pembatasan
tayangan, larangan tayangan, maupun visualisasi vulgar di majalah oleh pihak
pemerintah.
Semua kalangan dapat berekspresi dengan bebas pada masa
reformasi. Namun muncul isu-isu yang kurang mengenakkan untuk didengar. Isu tersebut
adalah ketika perempuan turut ambil bagian dalam bermedia. Maksudnya disini,
perempuan mulai menampilkan ke publik untuk berekspresi. Kemunculan perempuan
di muka publik memiliki representasi yang kurang baik. perempuan Indonesia
digambarkan sebagai orang yang bekerja di dapur, mengurus anak, sosok yang sensitive,
dan sering menjadi korban lelaki.
Akhir-akhir ini, sajian dalam media massa di Indonesia,
tanpa terkecuali media elektronik maupun media cetak, seakan-akan
berlomba-lomba mendapatkan sosok perempuan yang memiliki fisik; cantik dan
seksi. Hal itu demi sarana mempengaruhi dan melanggengkan pesan yang ingin
disampaikan kepada khalayak, baik dalam bentuk realitas perfilman, periklanan,
dan bentuk lainnya. Wajar jika sebagian orang menilai bahwa media massa
mengeksploitas perempuan dari berbagai bentuk tubuh, karakter, maupun sifatnya.
Misalnya, apa hubungan antara perempuan yang berpakaian minim dan mobil dalam iklan?
Dalam film atau berbagai macam sinetron misalnya, perempuan
seringkali dikonstruksikan dengan citra yang negatif. Cover di sebuah majalah
atau iklan hand phone di televisi dengan visualisasi (baca; penampakan)
perempuan yang cantik dengan tubuh yang seksi. Pakaian-pakaian yang digunakan
juga seksi, misalnya memakai rok ketat diatas lutut dan baju ketat. Seperti
yang dijelaskan dalam jurnal, MemberI sebuah pandangan bahwa perempuan hanya
sebagai eksploitasi terhadap sebuah materi untuk melariskan barangnya, demi
profit industri bisnis bagi kaum kapitalis. Bisa jadi, perempuan sebagai
‘penyambung aspirasi’ nafsu biologis laki-laki.
Setelah rezim Soeharto khususnya, media massa cenderung
tidak dikontrol oleh pemerintah. Namun media massa di Indonesia saat ini tengah
berubah arah ke budaya bisnis. Perubahan
orientasi wanita di media membuat perempuan menjadi obyek untuk dijadikan lahan
bisnis. Sehingga dengan mudah kita temukan dalam berbagai media massa, baik
cetak, elektronik, dan online perempuan yang berpenampilan tidak semestinya.
Ini dilakukan untuk menjaring pelanggan atau menarik konsumen untuk membeli
produk yang dijual. Perempuan tak ubahnya sebagai image sesuatu yang dijual, padahal tidak melulu perempuan di
Indonesia digambarkan dengan image yang negatif.
Kepentingan bisnis tersebut memungkinkan perempuan
dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengejar keuntungan besar dalam meraih
pangsa pasar, yang sarat dengan persaingan ketat, sebagaimana dalam
permainan industri. Perempuan ditampilkan secara tidak bermoral,
tidak memiliki nilai etika bersosial. Perempuan divisualisasikan ke dalam
bentuk fisik yang sarat dengan tubuhnya; seksi dan berpakaian yang sangat
minim.
Stuart Hall dalam buku Representation: Cultural
Representation and Signifying Practice mengemukakan adanya dua sistem
representasi. Pertama, mental representation, yaitu “meaning
depens on the system of concept and images formedin our thoughts which can stand
for or ‘represent’ the world, enabling us to refer to things both inside and
outside our heads”. Kedua, makna yang bergantung pada konstruksi sebuah
set korespondensi antara peta konseptual kita, dan sebuah set tanda, bahasa,
yang merepresentasikan konsep-konsep tersebut. Junaidi dalam tulisan The
Body Shop: Representation and Identities, mengatakan proses yang
menghubungkan ‘things, concept dan sign’ tersebut diberi nama
representation.[1]
Begitu pula representasi perempuan dalam media massa juga
akan dipengaruhi bagaimana konstruksi sosial yang melingkupinya. Oleh
karena sebagai politik kapitalis, industri media sangat dipengaruhi
berbagai hal, baik yang ada dalam organisasi media maupun ekstra media,
sebagaimana dikemukakan.[2] Ada lima
tataran yang mempengaruhi isi media, yaitu tataran individual pekerja,
tataran rutinitas media, tataran organisasai media, tataran ekstra
media, dan faktor ideologi. Termasuk dalam tataran individual pekerja media
adalah latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan wartawan.
Rutinitas media menyangkut kepentingan khalayak yang meliputi nilai berita,
objektivitas, dan struktur cerita. Organisasai media menyangkut gatekeeper,
perspektif pemberitaan, serta sumber eksternal seperti pidato interview, dan
lain-lain.
Peran media massa sebagai
penyalur informasi turut menyumbangkan proses pembentukan sikap dan perilaku
yang menentukan status perempuan di dalam masyarakat. Debra A. Yatim2 dalam
tulisan berjudul “Perempuan dan media Massa, Oleh Pria untuk Priakah?” berkata,
“Di satu pihak, betul media jadi cermin bagi keadaan di
sekelilingnya. Namun, di pihak lain, ia juga membentuk realitas sosial itu
sendiri. Lewat sikapnya yang selektif dalam memilih hal-hal yang ingin
diungkapkannya, dan juga lewat caranya menyajikan hal-hal tersebut, media
memberi interpretasi, bahkan membentuk realitasnya sendiri”.
Media sendiri juga turut melanggengkan struktur. Bagi para
mereka yang bekerja dalam produksi biasanya turut memperhitungkan rating dari
judul sinetron yang ditayangkan. Rating tersebut menunjukkan kesukaan
masyarakat terhadap sinetron yang disajikan. Selain itu juga untuk mengukur
selera masyarakat terhadap sinetron. Walaupun banyak masyarakat yang tidak
menyukai sinetron tersebut tetapi tidak tercantum dalam rating yang dibuat. Bahkan
masyarakat yang tidak menyukai sinetron-sinetron yang berbau kekerasan
memberitahukannya dalam rubrik surat pembaca di koran.
Semua ini berarti bahwa media sangat terikat dengan proses
produksi dan jaringannya sangat kuat. Masyarakat hanya pihak yang tidak berdaya
karena peran media dalam proses produksi dan jaringannya sangat kuat. Meskipun
masyarakat sudah melakukan banyak perlawanan untuk mendapatkan tayangan yang
bermutu dan berkualitas.
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tayangan televisi
yang mendapatkan rating yang tinggi adalah tayangan yang berbumbu “kekerasan”.
Jadi dalam hal ini, jalan cerita sinetron atau tayangan menjadi tidak penting.
Malah ceritalah yang menjadi bumbu kekerasan.
Persoalan mengenai perempuan tidak jauh dari apa yang disebut
dengan bias gender. Bias gender adalah prasangka yang dibuat tanpa pengetahuan
yang memadai atau bukti-bukti yang kuat terhadap seseorang atau sekelompok
masyarakat yang didasarkan pada peran dan posisi gender laki-laki dan
perempuan.[3] Konstruksi
sosial yang dilahirkan oleh masyarakat dan kebudayaan telah mengkristal menjadi
ideologi yang serba bias gender. Disinilah perempuan menjadi pihak yang
menduduki posisi subordinate. Maksudnya, kedudukan perempuan ada dibawah
laki-laki. Saat ini secara bersamaan, bias gender dengan ideologi kapitalis
serta budaya patriarkhi telah mewarnai media. Sadar atau tidak sadar media
kemudian mensosialisasikannya kepada publik atau masyarakat.
Persoalan gender ini telah lama menjadi perhatian para
peneliti feminis. Perkembangan feminism terhadap permasalahan gender mulai
muncul sekitar tahun 40-an yang digagas oleh kaum feminis di Barat. Munculnya
perhatian terhadap isu gender dan pemberdayaan perempuan diawali oleh adanya
kesadaran bahwa ternyata nasib kaum perempuan di masyarakat tidak sebaik nasib
lawan jenisnya. Oleh karena itu, gerakan untuk memperbaiki nasib perempuan
mulai muncul yang dipelopori oleh tokoh feminis MaryWollstonecraft dan John
StuartMill (Amal, 1992).
Dalam perkembangan berikutnya diikuti oleh tokoh-tokoh
feminis lainnya yang mempunyai visi dan misi sejenis yakni mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender dengan memperjuangkan nasib kaum perempuan yang
dianggapnya berada dalam posisi teropresi, tersubordinasi, termarjinalisasi,
dan terdiskriminasi. Gerakan feminis ini pada awalnya berkembang diNegara Barat
seperti di Inggris, Perancis, Amerika dan lain-lain, dan dalam perkembangannya gerakan
ini berkembang dalam tiga gelombang besaryakni feminisme gelombang pertama,
kedua dan ketiga.
Pandangan masyarakat yang negatif terhadap perempuan di
dalam masyarakat tentu sangat merugikan
perempuan untuk berkreasi, Tidaklah mudah mengubah pandangan tersebut. Tentunya
diperlukan perjuangan yang ekstra keras karena hal ini berkaitan erat dengan
perubahan nilai budaya atau konstruksi sosial budaya yang telah berurat akar di
masyarakat. Namun demikian, karena semua nilai budaya yang ada di masyarakat
adalah bentukan manusia, maka pada prinsipnya hal ini bisa diubah tetapi
memerlukan proses yang panjang.
Referensi
Jurnal
Eva
Leiliyanti, “Konstruksi Identitas
Perempuan dalam Majalah Cosmopolitan”,
dalam Jurnal
Perempuan No 28 (2003)
Jurnal Perempuan, untuk
pencerahan dan kesetaraan. Edisi no.48 tahun 2006
Jurnal Studi Gender dan Anak
Yin Yang. Perempuan Dalam Media Massa
oleh Nurul Islam
Jurnal
Etnovisi, Jurnal Antropologi Sosial Budaya Vol. 01. No. 2 Oktober 2005 ISSN:
0216-843x
Ni Luh Arjani Jurnal Ekonomi
Sosial Input. Kesetaraan dan Keadilan
Gender (KKG) dan Tantangan Global.
[1] Eva Leiliyanti, “Konstruksi Identitas Perempuan dalam Majalah
Cosmopolitan”, dalam Jurnal Perempuan No 28 (2003
[2] Shoemaker, J. Pamela dan Stephen D. Reese, Mediating The Messages, Theories of Influences on Media Content
(USA: Longman Publishers, 2001).
[3] Sheryl Cooke-
Sawyer, Gender Bias and Sex Role Stereotyping in Grade Seven History Textbooks,
London, The University of Western Ontario, 1998, hal 1-2. Gender sendiri adalah
perbedaan tingkah laku antar jenis kelamin yang merupakan hasil bentukan
masyarakat. Bukan sesuatu yang biologis atau kodrat Tuhan, tetapi dibentuk oleh
masyarakat melalui sebuah proses sosial dan budaya yang panjang.
No comments:
Post a Comment