Saturday, March 10, 2012

Woman in Media Society


Teropong Perempuan Dalam Media


Seperti yang kita ketahui bahwa berbagai persoalan tentang wanita masih menjadi isu yang marak untuk diperbincangkan. Terutama ketika Indonesia sudah memasuki masa reformasi, dimana masyarakat diberikan kebebasan untuk mengekspresikan diri mereka, khususnya dalam bermedia. Media massa telah memasuki jaman atau era kebebasan penuh tanpa ada pembredelan, pembatasan tayangan, larangan tayangan, maupun visualisasi vulgar di majalah oleh pihak pemerintah.
Semua kalangan dapat berekspresi dengan bebas pada masa reformasi. Namun muncul isu-isu yang kurang mengenakkan untuk didengar. Isu tersebut adalah ketika perempuan turut ambil bagian dalam bermedia. Maksudnya disini, perempuan mulai menampilkan ke publik untuk berekspresi. Kemunculan perempuan di muka publik memiliki representasi yang kurang baik. perempuan Indonesia digambarkan sebagai orang yang bekerja di dapur, mengurus anak, sosok yang sensitive, dan sering menjadi korban lelaki.
Akhir-akhir ini, sajian dalam media massa di Indonesia, tanpa terkecuali media elektronik maupun media cetak, seakan-akan berlomba-lomba mendapatkan sosok perempuan yang memiliki fisik; cantik dan seksi. Hal itu demi sarana mempengaruhi dan melanggengkan pesan yang ingin disampaikan kepada khalayak, baik dalam bentuk realitas perfilman, periklanan, dan bentuk lainnya. Wajar jika sebagian orang menilai bahwa media massa mengeksploitas perempuan dari berbagai bentuk tubuh, karakter, maupun sifatnya. Misalnya, apa hubungan antara perempuan yang berpakaian minim dan mobil dalam iklan?
Dalam film atau berbagai macam sinetron misalnya, perempuan seringkali dikonstruksikan dengan citra yang negatif. Cover di sebuah majalah atau iklan hand phone di televisi dengan visualisasi (baca; penampakan) perempuan yang cantik dengan tubuh yang seksi. Pakaian-pakaian yang digunakan juga seksi, misalnya memakai rok ketat diatas lutut dan baju ketat. Seperti yang dijelaskan dalam jurnal, MemberI sebuah pandangan bahwa perempuan hanya sebagai eksploitasi terhadap sebuah materi untuk melariskan barangnya, demi profit industri bisnis bagi kaum kapitalis. Bisa jadi, perempuan sebagai ‘penyambung aspirasi’ nafsu biologis laki-laki.
Setelah rezim Soeharto khususnya, media massa cenderung tidak dikontrol oleh pemerintah. Namun media massa di Indonesia saat ini tengah berubah arah ke budaya bisnis.  Perubahan orientasi wanita di media membuat perempuan menjadi obyek untuk dijadikan lahan bisnis. Sehingga dengan mudah kita temukan dalam berbagai media massa, baik cetak, elektronik, dan online perempuan yang berpenampilan tidak semestinya. Ini dilakukan untuk menjaring pelanggan atau menarik konsumen untuk membeli produk yang dijual. Perempuan tak ubahnya sebagai image sesuatu yang dijual, padahal tidak melulu perempuan di Indonesia digambarkan dengan image yang negatif.
Kepentingan bisnis tersebut memungkinkan perempuan dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengejar keuntungan besar dalam meraih pangsa pasar, yang sarat dengan persaingan ketat, sebagaimana dalam permainan industri. Perempuan ditampilkan secara tidak bermoral, tidak memiliki nilai etika bersosial. Perempuan divisualisasikan ke dalam bentuk fisik yang sarat dengan tubuhnya; seksi dan berpakaian yang sangat minim.
Stuart Hall dalam buku Representation: Cultural Representation and Signifying Practice mengemukakan adanya dua sistem representasi. Pertama, mental representation, yaitu “meaning depens on the system of concept and images formedin our thoughts which can stand for or ‘represent’ the world, enabling us to refer to things both inside and outside our heads”. Kedua, makna yang bergantung pada konstruksi sebuah set korespondensi antara peta konseptual kita, dan sebuah set tanda, bahasa, yang merepresentasikan konsep-konsep tersebut. Junaidi dalam tulisan The Body Shop: Representation and Identities, mengatakan proses yang menghubungkan ‘things, concept dan sign’ tersebut diberi nama representation.[1]
Begitu pula representasi perempuan dalam media massa juga akan dipengaruhi bagaimana konstruksi sosial yang melingkupinya. Oleh karena sebagai politik kapitalis, industri media sangat dipengaruhi berbagai hal, baik yang ada dalam organisasi media maupun ekstra media, sebagaimana dikemukakan.[2] Ada lima tataran yang mempengaruhi isi media, yaitu tataran individual pekerja, tataran rutinitas media, tataran organisasai media, tataran ekstra media, dan faktor ideologi. Termasuk dalam tataran individual pekerja media adalah latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan wartawan. Rutinitas media menyangkut kepentingan  khalayak yang meliputi nilai berita, objektivitas, dan struktur cerita. Organisasai media menyangkut gatekeeper, perspektif pemberitaan, serta sumber eksternal seperti pidato interview, dan lain-lain.
Peran media massa sebagai penyalur informasi turut menyumbangkan proses pembentukan sikap dan perilaku yang menentukan status perempuan di dalam masyarakat. Debra A. Yatim2 dalam tulisan berjudul “Perempuan dan media Massa, Oleh Pria untuk Priakah?” berkata,
Di satu pihak, betul media jadi cermin bagi keadaan di sekelilingnya. Namun, di pihak lain, ia juga membentuk realitas sosial itu sendiri. Lewat sikapnya yang selektif dalam memilih hal-hal yang ingin diungkapkannya, dan juga lewat caranya menyajikan hal-hal tersebut, media memberi interpretasi, bahkan membentuk realitasnya sendiri”.

Media sendiri juga turut melanggengkan struktur. Bagi para mereka yang bekerja dalam produksi biasanya turut memperhitungkan rating dari judul sinetron yang ditayangkan. Rating tersebut menunjukkan kesukaan masyarakat terhadap sinetron yang disajikan. Selain itu juga untuk mengukur selera masyarakat terhadap sinetron. Walaupun banyak masyarakat yang tidak menyukai sinetron tersebut tetapi tidak tercantum dalam rating yang dibuat. Bahkan masyarakat yang tidak menyukai sinetron-sinetron yang berbau kekerasan memberitahukannya dalam rubrik surat pembaca di koran.
Semua ini berarti bahwa media sangat terikat dengan proses produksi dan jaringannya sangat kuat. Masyarakat hanya pihak yang tidak berdaya karena peran media dalam proses produksi dan jaringannya sangat kuat. Meskipun masyarakat sudah melakukan banyak perlawanan untuk mendapatkan tayangan yang bermutu dan berkualitas.
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tayangan televisi yang mendapatkan rating yang tinggi adalah tayangan yang berbumbu “kekerasan”. Jadi dalam hal ini, jalan cerita sinetron atau tayangan menjadi tidak penting. Malah ceritalah yang menjadi bumbu kekerasan.
Persoalan mengenai perempuan tidak jauh dari apa yang disebut dengan bias gender. Bias gender adalah prasangka yang dibuat tanpa pengetahuan yang memadai atau bukti-bukti yang kuat terhadap seseorang atau sekelompok masyarakat yang didasarkan pada peran dan posisi gender laki-laki dan perempuan.[3] Konstruksi sosial yang dilahirkan oleh masyarakat dan kebudayaan telah mengkristal menjadi ideologi yang serba bias gender. Disinilah perempuan menjadi pihak yang menduduki posisi subordinate. Maksudnya, kedudukan perempuan ada dibawah laki-laki. Saat ini secara bersamaan, bias gender dengan ideologi kapitalis serta budaya patriarkhi telah mewarnai media. Sadar atau tidak sadar media kemudian mensosialisasikannya kepada publik atau masyarakat.
Persoalan gender ini telah lama menjadi perhatian para peneliti feminis. Perkembangan feminism terhadap permasalahan gender mulai muncul sekitar tahun 40-an yang digagas oleh kaum feminis di Barat. Munculnya perhatian terhadap isu gender dan pemberdayaan perempuan diawali oleh adanya kesadaran bahwa ternyata nasib kaum perempuan di masyarakat tidak sebaik nasib lawan jenisnya. Oleh karena itu, gerakan untuk memperbaiki nasib perempuan mulai muncul yang dipelopori oleh tokoh feminis MaryWollstonecraft dan John StuartMill (Amal, 1992).
Dalam perkembangan berikutnya diikuti oleh tokoh-tokoh feminis lainnya yang mempunyai visi dan misi sejenis yakni mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dengan memperjuangkan nasib kaum perempuan yang dianggapnya berada dalam posisi teropresi, tersubordinasi, termarjinalisasi, dan terdiskriminasi. Gerakan feminis ini pada awalnya berkembang diNegara Barat seperti di Inggris, Perancis, Amerika dan lain-lain, dan dalam perkembangannya gerakan ini berkembang dalam tiga gelombang besaryakni feminisme gelombang pertama, kedua dan ketiga.
Pandangan masyarakat yang negatif terhadap perempuan di dalam masyarakat  tentu sangat merugikan perempuan untuk berkreasi, Tidaklah mudah mengubah pandangan tersebut. Tentunya diperlukan perjuangan yang ekstra keras karena hal ini berkaitan erat dengan perubahan nilai budaya atau konstruksi sosial budaya yang telah berurat akar di masyarakat. Namun demikian, karena semua nilai budaya yang ada di masyarakat adalah bentukan manusia, maka pada prinsipnya hal ini bisa diubah tetapi memerlukan proses yang panjang.

Referensi Jurnal
Eva Leiliyanti, “Konstruksi Identitas Perempuan dalam Majalah Cosmopolitan”, dalam Jurnal
Perempuan No 28 (2003)
Jurnal Perempuan, untuk pencerahan dan kesetaraan. Edisi no.48 tahun 2006
Jurnal Studi Gender dan Anak Yin Yang. Perempuan Dalam Media Massa oleh Nurul Islam
Jurnal Etnovisi, Jurnal Antropologi Sosial Budaya Vol. 01. No. 2 Oktober 2005 ISSN: 0216-843x
Ni Luh Arjani Jurnal Ekonomi Sosial Input. Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan Tantangan Global.



[1] Eva Leiliyanti, “Konstruksi Identitas Perempuan dalam Majalah Cosmopolitan”, dalam Jurnal Perempuan No 28 (2003
[2] Shoemaker, J. Pamela dan Stephen D. Reese, Mediating The Messages, Theories of Influences on Media Content (USA: Longman Publishers, 2001).
[3] Sheryl Cooke- Sawyer, Gender Bias and Sex Role Stereotyping in Grade Seven History Textbooks, London, The University of Western Ontario, 1998, hal 1-2. Gender sendiri adalah perbedaan tingkah laku antar jenis kelamin yang merupakan hasil bentukan masyarakat. Bukan sesuatu yang biologis atau kodrat Tuhan, tetapi dibentuk oleh masyarakat melalui sebuah proses sosial dan budaya yang panjang.

No comments:

Post a Comment