Ketika hitam putih berbicara,
bukan berarti tak memberi warna
Film…
Siapa yang tidak tahu film ? Kebanyakan dari orang yang mendengar kata tersebut
akan berpikiran bahwa film adalah suatu hiburan yang paling menarik dan banyak
dinikmati oleh siapa saja.
Banyak orang yang malas menonton
film-film lama dibandingkan dengan menonton film baru yang ada di bioskop.
Termasuk saya. Namun setelah saya mengikuti mata kuliah Kajian Film semester
ini, terhitung selama 3 bulan ini saya jadi terbiasa untuk menonton film-film
lama dan menurut saya film lama tidak kalah dengan film-film yang saat ini
beredar di bioskop. Bagi saya dengan
menonton film-film lama akan menambah pengalaman yang sangat menakjubkan
dikarenakan film lama memiliki perbedaan yang sangat jauh dalam pembuatannya
dengan situasi dan kondisi yang kita alami saat ini.
Era
film bisu merupakan tahap awal perkembangan film di dunia. Saya sebagai seorang
pembelajar kajian film amatir alias pertama kali menonton film bisu gaya klasik
Hollywood yang berjudul The Kiss. Film yang dibuat pada tahun
1896 dan berdurasi 47 detik ini adalah sebuah mahakarya dari sebuah penemuan
teknologi pembuatan film pertama kalinya. Inilah bukti sebuah pembuatan film
yang hanya berdurasi sangat cepat namun proses pembuatannya cukup rumit. Saat
itu dengan tanpa dosa saya membandingkan film itu dengan kondisi perfilman
sekarang jadi setelah selesai menonton film tersebut kesan saya adalah “ini film apaan sih? Kok cepet banget.. yakin ini film?”. Padahal dalam
menonton film lama penonton jangan membandingkan dengan kondisi saat ini.
Masih pada ranah era film bisu. Sebuah film yang berjudul The Great Train Robbery dibuat pada
tahun 1903. Durasi yang awalnya masih hitungan detik sudah berkembang menjadi
hitungan menit . Film ini sudah memberikan teknik yang inovatif dalam hal cross cutting,
double
exposure composite editing, camera movement and on location
shooting.
Memasuki perjalanan menonton film klasik ini tentunya teknologi tentunya lebih
berkembang karena tidak hanya durasinya yang lebih panjang tetapi juga teknik
pengambilam gambar yang inovatif. Tidak
kalah dengan film Amerika, pada tahun 1925 sebuah film bisu berjudul Battleship Potemkin berdurasi 80 menit yang perkembangan film di Rusia saat itu
mencapai puncaknya pada tahun pertama Revolusi Oktober. Saat itu sineas-sineas
Soviet benar-benar dihayati oleh revolusi besarnya dan memperoleh
inspirasi-inspirasi yang hebat dari kejadian-kejadian yang baru dialami oleh
mereka sehingga karya mereka (Einstein, Pudovkin,dll) meskipun memiliki sifat
propagandistis tetap memiliki nilai seni yang tinggi dan diakui sebagai karya
klasik yang abadi mutunya.
Perkembangan
film di italia, melalui sebuah film yang berjudul Bicycle Thieves tahun 1948 oleh Andre Bazin pembela paling gigih dari
neorealisme Italia, menganggap film Ladri
di Biciclette sebagai film terbaik yang mewakili neorealisme sinema
Italia. Film yang memiliki jalan cerita sederhana dan value tersendiri dari kisah pencarian
sebuah sepeda Inilah film yang banyak dibicarakan oleh banyak orang penggila
film. Citizen Kane, film yang
diproduksi tahun 1941 merupakan film terbaik pada masa itu namun sesungguhnya
pada saat itu dianggap sebagai kegagalan komersial. Eugene Vale seorang
pengarang film yang kenamaan mengemukakan mungkin sebuah cerita itu hebat,
tetapi belum tentu film yang baik.
Belajar film yang sesungguhnya adalah
mempelajari lebih dari sekedar sebuah objek film tersebut. Dengan mempelajari
kebudayaan dan pengaruh sosial dari sebuah film maka kita mampu mencari tahu
jejak-jejak isu yang ada pada film tersebut. Entah film tersebut adalah film
bisu atau film hitam putih.
Film bukanlah bentuk hiburan semata tetapi
film adalah sebuah karya yang mencoba untuk menyampaikan sesuatu atau pesan.
Disinilah para sineas dunia mewujudkannya dalam sebuah film Film bukan hanya
sebuah media. Film dipercaya menjadi sebuah media yang paling besar dapat
memberikan pengaruh bagaimana kita menjalani hidup. Bukan hanya karena film
dapat mengingatkan akan sebuah memori kehidupan.
No comments:
Post a Comment